Perempuan dan Sebutir Tomat
Cerpen Dyah Indra Mertawirana
MENURUTMU bagaimana mengatasi kesunyian pada hari tua. Barangkali ini hanya sebatas ucapan kosong, melantur, dan tak kumaksudkan untuk apa-apa serta bukan untuk siapa-siapa. Kalau perlu lupakan saja. Namum, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Sesuatu yang membuatku menghabiskan hampir sebulan penuh hanya untuk mengikuti perempuan itu. Sesuatu yang barangkali seperti menemukan selembar kertas koran bekas yang terbang di jalan, kumal, tertanggal seumur usia, dan menyimpan sebuah berita kematian saudara. Jangan pernah bilang aku jatuh cinta karena sorot matanya yang tentu menyimpan sebuah dunia yang asing itu.
"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," *) kata-kata itu meluncur dari mulutnya selancar doa-doa dan mantra. Bergulir seiring kerenyit derit roda-roda kereta yang menukik membelah sepanjang persawahan, sesekali hutan, sepuluh sungai besar dan kecil, tiga kota kecamatan dan selebihnya kota-kota yang riuh.
Bersamanya seorang lelaki sebaya, mungkin suaminya. Tangannya memegang sebutir tomat merah ranum, selalu diputar-putar dan seperti tak hendak dimakan. Berbaju kebaya, menyimpan sedikit kerak kecantikan yang tersemburat dari gurat-gurat kulit wajah dan tubuhnya. Sementara lelaki yang sebangku dengannya itu terkantuk-kantuk dengan jenggot putih jatuh membungkus usianya yang sepuh.
Ah, kenapa aku ingin berbagai cerita padamu. Entah. Tetapi yang sangat aku ingat, kali pertama aku melihatnya ketika aku duduk di dalam kereta sementara ia berada di bangku seberang, duduk dekat jendela. Matanya ditebar ke keluasan perjalanan. Namun mulutnya selalu mengucapkan kata-kata seperti mantra, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," Sedang lelaki yang bersamanya seolah tak ingin mendengar semua kata-katanya yang menderas selaju kencang kereta, jatuh tertidur dengan dengkur lentur.
Kereta berhenti hampir di setiap stasiun. Namun kedua orang itu tak juga turun. Hingga sampai di ujung stasiun, baru kulihat perempuan itu merapikan barang-barang. Hanya dua tas jinjing kecil dan sebuah tas yang menggantung di bahu kirinya. Sementara si lelaki membawa dua tas jinjing kecil itu keluar kereta, perempuan itu terus berbicara yang di kepalaku menjadi semacam gerutuan yang mengerikan, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita."
Sementara sepanjang perjalanan, kami menjadi akrab. Berkat mantra-mantranya, aku pun menyempatkan diri bercakap-cakap sepanjang kereta menderit-derit dan memenuhi tawaran untuk berkunjung ke rumahnya. Sebuah kebetulan. Rumahnya dipenuhi oleh bermacam kupu-kupu yang selalu singgah saban hari, katanya. Rumah kayu di tepi sebuah hutan kecil, tak banyak rumah, tak juga ada listrik, hanya lampu-lampu minyak yang terpancang di beberapa tiang, dan seorang anak muda berumur sekitar sepuluh tahun yang terikat di kursi. Menuju ke rumahnya perlu di tempuh dengan sepuluh menit mengendarai ojek atau hampir setengah jam jalan kaki melewati jalan berbatu. Dan hampir selama sebulan penuh akhirnya aku tinggal di rumah itu.
"Apa ia tak mati kelaparan?" tanyaku pada Ubit Abi suami Uni Daiya, kedua orang itu, sambil melirik ke arah Kun, anak yang diikat di kursi dekat bibir pintu rumah itu.
"Masih hidup," katanya sambil membawa biji-biji bunga matahari yang ia bawa keluar ke arah Uni Daiya yang tengah menyiangi pelataran yang dipenuhi segala macam bunga-bunga.
"Berapa hari kalian meninggalkan dia?"
"Cukup waktu sehari semalam untuk serbuk bunga ini tumbuh."
"Bagaimana jika ia mati?"
"Kematian tak perlu lagi membuat tangis kan?"
"Anak siapa? Cucumu? Kalian menculiknya?"
"Manusia harus dibiarkan hidup, membunuh adalah kejahatan!"
"Kalian tidak takut dilaporkan ke polisi?"
"Usiaku tinggal menghitung satu dua hari."
"Kejahatan!" sergahku.
"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," sahut Uni Daiya. Mukanya nampak kumal terpanggang matahari, seharian. Ia beranjak melewatiku dan berjalan ke arah dapur. Tubuhnya kembali bersama sebuah piring yang telah dipenuhi dengan nasi dan lauk pauk. Ia mendekati Kun dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Selang beberapa lama kemudian kudengar kedua orang itu tengah mendengkur lentur di dalam rumah. Aku mendekati Kun.
"Kau mendengarku?" bisikku sambil menggerak-gerakkan tubuh Kun. Anak itu menatapku, bola matanya bersinar.
"Kau ingin aku melepaskan ikatanmu?" tanyaku dibalas gelengan kepala. Ia tertunduk lagi dan juga tertidur.
Perempuan itu saban hari pekerjaannya hanya memelihara kebun tomat dan bunga-bunga. Seminggu sekali mereka akan memetik bunga-bunga dan beberapa butir tomat untuk ditukar suaminya dengan beras dan minyak tanah di pasar, tujuh kilometer di bawah sana.
"Dari mana Uni naik kereta?"
"Anakku dikuburkan," jawabnya sederhana.
"Maaf."
Tak ada suara.
"Kenapa Uni tak ikut anak Uni di kota?"
"Keterasingan."
"Kenapa Uni selalu mengikat Kun. Biarkan dia berjalan-jalan sesekali, aku yakin dia tidak akan lari!"
"Kun yang tak ingin jalan-jalan dan lari. Dia yang ingin duduk di situ!"
"Kenapa diikat?"
"Kau ingin dia terjatuh kalau tidur?"
"Tidur di ranjang atau di tikar pandan!"
"Repot!"
"Uni tidak ingin dibilang menyakiti dia kan?"
"Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati?"
Aku tak mengerti. Aku berhenti bertanya ketika ia terbatuk-batuk. Dadanya seperti tertekuk dan seketika menjadi ringkih, ada kerit sesak ketika ia bernafas. Hawa di daerah ini menyimpan kelembaban yang tinggi. Daerah yang tidak kondusif untuk orang yang menderita asma atau bronkitis.
Menjelang malam Uni menyeduh segelas teh hangat dan meminumkan dengan sabar ke Kun, menyelimuti dan menutup sebagian wajahnya. Setelah itu ia memasang lampu minyak dan menutup pintu. Suara serangga malam menjadi liar di tengah malam. Beberapa kunang-kunang terkadang menyerobot masuk. Sementara Ubit Abi membakar semak-semak di sebelah rumah hingga hangat menyelusup masuk ke dalam.
Uni dan Ubit Abi memperlakukanku dengan baik. Pekerjaanku yang hanya memotret dan sesekali ikut Ubit Abi masuk hutan -menemukan beberapa spesies kupu-kupu unik yang bisa kujepret- seperti tak mengganggu keseharian mereka, sama sekali.
Selang dua minggu, aku menemukan Kun tak bergerak. Panik dan ketakutanku tak membuat rumah ini riuh. Mereka mengangkat tubuh Kun kemudian memperlakukan layaknya orang yang sudah mati. Sekeyakinanku Kun memang sudah membeku, mungkin sejak subuh.
"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," kata-kata itu kembali nyaring keluar dari mulut Uni Daiya.
Senja setelah kuburan Kun dipenuhi bunga-bunga, Uni Daiya duduk di kursi Kun sembari memutar-mutar sebutir tomat, sesuatu yang pernah dilakukannya di kereta. Sesaat aku teringat ucapannya, "Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati."
Dadaku sesak.
"Kenapa Uni tak biarkan dia berlari, barangkali dia ingin melihat bunga-bunga yang Uni tanam?"
"Barangkali dia mendengar dan berlari lebih jauh hanya dari kursi ini. Aku melihatnya. Sering. Barangkali sekarang aku yang ingin mendengar gersak daun-daun yang dibaliknya ada seekor babi hutan yang diam-diam dengan tergesa menyeruduknya hingga kedua rusuk iganya patah hingga ia tumbuh menjadi lumpuh hingga yang aku tahu umurnya bisa bertahan selama tomat ini belum membusuk. Kun terlampau lemah.
"Membawa kanker tulang dari kota. Hingga aku meyakini kanker itu diam-diam menggerus tubuhnya sampai kerontang hingga suamiku hanya akan menghitung hari demi hari. Ia bermain di sana -sambil jari telunjuknya menunjuk ke sisi bukit- nyaris masuk ke tengah hutan. Lalu babi hitam itu meretakkan dua tulang iganya. Kun hanya berlibur. Kun senang sekali menemani kami. Mengejar kupu-kupu, sepertimu. Tapi akhirnya kami yang harus memiliki kesetiaan untuk menemani Kun. Menjaga matanya tetap terjaga dan berlari mengejar kupu-kupu."
Aku bungkam. Di telingaku, angin menjadi tajam dan menusuk lebih keras kulit tubuhku.
"Ia sanggup bertahan, makanya kami tak tanyakan kematian kami. Setelah ibunya di kota dikubur, barangkali dia tak ingin lari lagi."
Ia mengulurkan sebutir tomat itu ke tanganku. "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," kata-kata itu diucapkannya bersama sebuah senyuman. Matanya dipejamkan.
Senja tiba dan Ubit Abi memperlakukan dia sebagaimana Uni Daiya memperlakukan Kun. Dan terakhir, aku yang menyelimuti tubuh Ubit Abi sepanjang senja mulai turun hingga perlahan sebutir tomat yang ada di tanganku mulai lembek dan membusuk. Saat itu aku musti menanamnya, begitu pesan Uni Daiya.
Sebulan, tepatnya. Perjalanan pulang. Barangkali hanya sebersit harap, aku menemukan selembar kertas koran, seumur usia dan ada berita kematian seorang kerabat. Lalu lamat-lamat gerimis merapat. Aku menarik krah jaketku ke atas dan tertidur pulas di kereta. Barangkali aku juga ingin menyimpan kisah ini, sekalipun kepadamu. Ry!
Bandar Lampung, 2004
*) ungkapan Afrizal Malna yang juga menginspirasi cerita ini dalam pengantar Arsitektur Hujan.
Read More Cerita ini....