Gasa Foredi Gasa

Selasa, 14 Juli 2009

Cerpen : Perempuan dan Sebutir Tomat

0 komentar

Perempuan dan Sebutir Tomat

Cerpen Dyah Indra Mertawirana

MENURUTMU bagaimana mengatasi kesunyian pada hari tua. Barangkali ini hanya sebatas ucapan kosong, melantur, dan tak kumaksudkan untuk apa-apa serta bukan untuk siapa-siapa. Kalau perlu lupakan saja. Namum, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu. Sesuatu yang membuatku menghabiskan hampir sebulan penuh hanya untuk mengikuti perempuan itu. Sesuatu yang barangkali seperti menemukan selembar kertas koran bekas yang terbang di jalan, kumal, tertanggal seumur usia, dan menyimpan sebuah berita kematian saudara. Jangan pernah bilang aku jatuh cinta karena sorot matanya yang tentu menyimpan sebuah dunia yang asing itu.

"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," *) kata-kata itu meluncur dari mulutnya selancar doa-doa dan mantra. Bergulir seiring kerenyit derit roda-roda kereta yang menukik membelah sepanjang persawahan, sesekali hutan, sepuluh sungai besar dan kecil, tiga kota kecamatan dan selebihnya kota-kota yang riuh.
Bersamanya seorang lelaki sebaya, mungkin suaminya. Tangannya memegang sebutir tomat merah ranum, selalu diputar-putar dan seperti tak hendak dimakan. Berbaju kebaya, menyimpan sedikit kerak kecantikan yang tersemburat dari gurat-gurat kulit wajah dan tubuhnya. Sementara lelaki yang sebangku dengannya itu terkantuk-kantuk dengan jenggot putih jatuh membungkus usianya yang sepuh.

Ah, kenapa aku ingin berbagai cerita padamu. Entah. Tetapi yang sangat aku ingat, kali pertama aku melihatnya ketika aku duduk di dalam kereta sementara ia berada di bangku seberang, duduk dekat jendela. Matanya ditebar ke keluasan perjalanan. Namun mulutnya selalu mengucapkan kata-kata seperti mantra, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," Sedang lelaki yang bersamanya seolah tak ingin mendengar semua kata-katanya yang menderas selaju kencang kereta, jatuh tertidur dengan dengkur lentur.

Kereta berhenti hampir di setiap stasiun. Namun kedua orang itu tak juga turun. Hingga sampai di ujung stasiun, baru kulihat perempuan itu merapikan barang-barang. Hanya dua tas jinjing kecil dan sebuah tas yang menggantung di bahu kirinya. Sementara si lelaki membawa dua tas jinjing kecil itu keluar kereta, perempuan itu terus berbicara yang di kepalaku menjadi semacam gerutuan yang mengerikan, "Hiduplah orang-orang lain bersama kita."

Sementara sepanjang perjalanan, kami menjadi akrab. Berkat mantra-mantranya, aku pun menyempatkan diri bercakap-cakap sepanjang kereta menderit-derit dan memenuhi tawaran untuk berkunjung ke rumahnya. Sebuah kebetulan. Rumahnya dipenuhi oleh bermacam kupu-kupu yang selalu singgah saban hari, katanya. Rumah kayu di tepi sebuah hutan kecil, tak banyak rumah, tak juga ada listrik, hanya lampu-lampu minyak yang terpancang di beberapa tiang, dan seorang anak muda berumur sekitar sepuluh tahun yang terikat di kursi. Menuju ke rumahnya perlu di tempuh dengan sepuluh menit mengendarai ojek atau hampir setengah jam jalan kaki melewati jalan berbatu. Dan hampir selama sebulan penuh akhirnya aku tinggal di rumah itu.

"Apa ia tak mati kelaparan?" tanyaku pada Ubit Abi suami Uni Daiya, kedua orang itu, sambil melirik ke arah Kun, anak yang diikat di kursi dekat bibir pintu rumah itu.
"Masih hidup," katanya sambil membawa biji-biji bunga matahari yang ia bawa keluar ke arah Uni Daiya yang tengah menyiangi pelataran yang dipenuhi segala macam bunga-bunga.

"Berapa hari kalian meninggalkan dia?"
"Cukup waktu sehari semalam untuk serbuk bunga ini tumbuh."
"Bagaimana jika ia mati?"
"Kematian tak perlu lagi membuat tangis kan?"
"Anak siapa? Cucumu? Kalian menculiknya?"
"Manusia harus dibiarkan hidup, membunuh adalah kejahatan!"
"Kalian tidak takut dilaporkan ke polisi?"
"Usiaku tinggal menghitung satu dua hari."
"Kejahatan!" sergahku.

"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," sahut Uni Daiya. Mukanya nampak kumal terpanggang matahari, seharian. Ia beranjak melewatiku dan berjalan ke arah dapur. Tubuhnya kembali bersama sebuah piring yang telah dipenuhi dengan nasi dan lauk pauk. Ia mendekati Kun dan menyuapinya sesuap demi sesuap. Selang beberapa lama kemudian kudengar kedua orang itu tengah mendengkur lentur di dalam rumah. Aku mendekati Kun.
"Kau mendengarku?" bisikku sambil menggerak-gerakkan tubuh Kun. Anak itu menatapku, bola matanya bersinar.

"Kau ingin aku melepaskan ikatanmu?" tanyaku dibalas gelengan kepala. Ia tertunduk lagi dan juga tertidur.
Perempuan itu saban hari pekerjaannya hanya memelihara kebun tomat dan bunga-bunga. Seminggu sekali mereka akan memetik bunga-bunga dan beberapa butir tomat untuk ditukar suaminya dengan beras dan minyak tanah di pasar, tujuh kilometer di bawah sana.

"Dari mana Uni naik kereta?"
"Anakku dikuburkan," jawabnya sederhana.
"Maaf."
Tak ada suara.
"Kenapa Uni tak ikut anak Uni di kota?"
"Keterasingan."
"Kenapa Uni selalu mengikat Kun. Biarkan dia berjalan-jalan sesekali, aku yakin dia tidak akan lari!"
"Kun yang tak ingin jalan-jalan dan lari. Dia yang ingin duduk di situ!"
"Kenapa diikat?"
"Kau ingin dia terjatuh kalau tidur?"
"Tidur di ranjang atau di tikar pandan!"
"Repot!"
"Uni tidak ingin dibilang menyakiti dia kan?"
"Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati?"
Aku tak mengerti. Aku berhenti bertanya ketika ia terbatuk-batuk. Dadanya seperti tertekuk dan seketika menjadi ringkih, ada kerit sesak ketika ia bernafas. Hawa di daerah ini menyimpan kelembaban yang tinggi. Daerah yang tidak kondusif untuk orang yang menderita asma atau bronkitis.

Menjelang malam Uni menyeduh segelas teh hangat dan meminumkan dengan sabar ke Kun, menyelimuti dan menutup sebagian wajahnya. Setelah itu ia memasang lampu minyak dan menutup pintu. Suara serangga malam menjadi liar di tengah malam. Beberapa kunang-kunang terkadang menyerobot masuk. Sementara Ubit Abi membakar semak-semak di sebelah rumah hingga hangat menyelusup masuk ke dalam.

Uni dan Ubit Abi memperlakukanku dengan baik. Pekerjaanku yang hanya memotret dan sesekali ikut Ubit Abi masuk hutan -menemukan beberapa spesies kupu-kupu unik yang bisa kujepret- seperti tak mengganggu keseharian mereka, sama sekali.
Selang dua minggu, aku menemukan Kun tak bergerak. Panik dan ketakutanku tak membuat rumah ini riuh. Mereka mengangkat tubuh Kun kemudian memperlakukan layaknya orang yang sudah mati. Sekeyakinanku Kun memang sudah membeku, mungkin sejak subuh.
"Hiduplah orang-orang lain bersama kita," kata-kata itu kembali nyaring keluar dari mulut Uni Daiya.

Senja setelah kuburan Kun dipenuhi bunga-bunga, Uni Daiya duduk di kursi Kun sembari memutar-mutar sebutir tomat, sesuatu yang pernah dilakukannya di kereta. Sesaat aku teringat ucapannya, "Aku mengenal sekali tomat itu, makanya aku tahu kapan dia akan mati."

Dadaku sesak.
"Kenapa Uni tak biarkan dia berlari, barangkali dia ingin melihat bunga-bunga yang Uni tanam?"
"Barangkali dia mendengar dan berlari lebih jauh hanya dari kursi ini. Aku melihatnya. Sering. Barangkali sekarang aku yang ingin mendengar gersak daun-daun yang dibaliknya ada seekor babi hutan yang diam-diam dengan tergesa menyeruduknya hingga kedua rusuk iganya patah hingga ia tumbuh menjadi lumpuh hingga yang aku tahu umurnya bisa bertahan selama tomat ini belum membusuk. Kun terlampau lemah.

"Membawa kanker tulang dari kota. Hingga aku meyakini kanker itu diam-diam menggerus tubuhnya sampai kerontang hingga suamiku hanya akan menghitung hari demi hari. Ia bermain di sana -sambil jari telunjuknya menunjuk ke sisi bukit- nyaris masuk ke tengah hutan. Lalu babi hitam itu meretakkan dua tulang iganya. Kun hanya berlibur. Kun senang sekali menemani kami. Mengejar kupu-kupu, sepertimu. Tapi akhirnya kami yang harus memiliki kesetiaan untuk menemani Kun. Menjaga matanya tetap terjaga dan berlari mengejar kupu-kupu."

Aku bungkam. Di telingaku, angin menjadi tajam dan menusuk lebih keras kulit tubuhku.
"Ia sanggup bertahan, makanya kami tak tanyakan kematian kami. Setelah ibunya di kota dikubur, barangkali dia tak ingin lari lagi."
Ia mengulurkan sebutir tomat itu ke tanganku. "Hiduplah orang-orang lain bersama kita," kata-kata itu diucapkannya bersama sebuah senyuman. Matanya dipejamkan.
Senja tiba dan Ubit Abi memperlakukan dia sebagaimana Uni Daiya memperlakukan Kun. Dan terakhir, aku yang menyelimuti tubuh Ubit Abi sepanjang senja mulai turun hingga perlahan sebutir tomat yang ada di tanganku mulai lembek dan membusuk. Saat itu aku musti menanamnya, begitu pesan Uni Daiya.

Sebulan, tepatnya. Perjalanan pulang. Barangkali hanya sebersit harap, aku menemukan selembar kertas koran, seumur usia dan ada berita kematian seorang kerabat. Lalu lamat-lamat gerimis merapat. Aku menarik krah jaketku ke atas dan tertidur pulas di kereta. Barangkali aku juga ingin menyimpan kisah ini, sekalipun kepadamu. Ry!


Bandar Lampung, 2004

*) ungkapan Afrizal Malna yang juga menginspirasi cerita ini dalam pengantar Arsitektur Hujan.


Read More Cerita ini.... Subscribe

Cerpen : Otak Jepang

0 komentar

Cerpen : Otak Jepang
Otak Jepang



Lime belas menit lagi pak Surya segera masuk membagikan soal perkalian, penambahan, pembagian, pengurangan, maupun pemfaktorannya. Tapi aku belum siap meski semalaman aku belajar mengulang pokok-pokok bahasan yang pernah diajarkan pak Surya beberapa hari sebelumnya.

Aku sangat resah memikirkan apa yang akan terjadi bila aku tidak bisa menyelesaikan soal-soal yang penuh angka itu. Padahal hari-hari sebelumnya tidak pernah sesusah hari ini. Aku selalu tenang menghadapi soal-soal matematika itu. Aku menyelesaikan soal-soal itu dengan "otak Jepang". Apalagi kalau bukan kalkulator.

Semua soal perkalian, pembagian, maupun pemfaktoran dengan mudah kuselesaikan. Itu semua berkat "otak Jepang".

Sebenarnya aku tidak bisa perkalian maupun pembagian. Karena itulah aku selalu menggantungkan diri pada "otak Jepang". Aku tak bisa apa-apa tanpa "otak Jepang" itu.

Tadi malam aku sudah mempersiapkan untuk kubawa pagi ini. Tapi saat ini terus kucari di dalam tasku. Apakah tertinggal di rumah? Mungkin saja aku lupa menaruhnya di dalam tas.

Jantungku semakin berdebar tak menentu. Sepuluh menit lagi pak Surya masuk ke kelas. Aku melihat ke arah teman-temanku. Semua pada santai menanti datangnya soal yang akan memperbaiki nilai mereka.

Ingin aku pulang ke rumah hanya untuk mengambil bagian otakku yang ketinggalan. Tapi tempo waktu tidak mengizinkanku berbuat demikian.

Aku duduk sejenak memikirkan bagaimana cara mendapatkan "otak" yang seperti itu. Lalu aku pergi ke kelas adik leting, mungkin Ahmad mau meminjamkan apa yang kubutuhkan.

Sampai di depan kelasnya, kupanggil dia perlahan, "Ahmad" sambil melambaikan tanganku. Panggilan itu membuat semua mata melihat ke arahku.

Seketika keluar bu Ani yang terkenal cukup kejam di sekolah kami. Beliau bertanya, "Ada apa?"

"Saya ingin menemui Ahmad sebentar Bu," jawabku dengan suara sedikit gemetar.

"Katakan saja mau apa dengan Ahmad," paksa bu Ani.
"Saya mau meminjam kalkulatornya."

"Tidak ada kalkulator hari ini. Kami tidak ada jadwal matematika," jawab bu Ani dengan nada keras.
"Ya sudah. Permisi Bu." Aku kembali ke kelas dengan tangan hampa.
Tampaklah pak Surya sedang berjalan menuju kelasku. Dalam pikiranku terbayang, tamatlah aku hari ini. Beginilah kalau bergantung pada "otak" lain. Dengan wajah putus asa, aku duduk di kursiku.

Pak Surya tiba di pintu kelas. Beliau langsung membagikan soal matematika. Setelah semua mendapat soal, pak Surya mempersilakan kami mengisinya.

Dengan hati gelisah aku melihat butir soal itu satu persatu. Bentuk soalnya tidak begitu berbeda dengan yang diberikannya padaku beberapa hari lalu.

Tapi apa boleh buat, tanpa "otak Jepang" itu aku tetap saja tidak bisa menyelesaikannya. Kulihat ke samping kanan dan kiri. Tak kulihat wajah-wajah sekarat menghadapi soal-soal itu.

Yah, tidak ada jalan lain selain mencontek jawaban teman yang duduk di sebelahku. Namun sebenarnya itu tidak ada gunanya. Karena pada hari-hari sebelumnya dia hanya menjiplak pekerjaanku. Akhirnya aku tidak peduli lagi jawabannya salah atau benar. Yang penting semua soal terisi.

Waktupun habis, semua soal harus dikembalikan ke meja pak Surya. Di sinilah aku menyadari bahwa selama ini kepandaianku bukanlah kepandaianku yang sesungguhnya. Melainkan kepandaian "otak Jepang"-ku.



Read More Cerita ini.... Subscribe

Cerpen : Kesedihan Hotel Chelsea

0 komentar

Kesedihan Hotel Chelsea

Cerpen

AKU adalah karakter "B" di dalam buku From A To B And Back Again The Philosophy Of Andy Warhol yang bersemayam di kepala seorang penulis muda yang berada dalam situasi depresi yang parah karena harus menulis di media massa untuk mendapatkan uang (dan begitu sedikitnya sehingga tidak mampu menutup riset yang dilakukan), menarik diri dari kehidupan sosial dan tidak lagi menjumpai jalan keluar, kecuali menulis atau bunuh diri.
Seperti kanker, aku menghisap habis seluruh hidupnya dengan bermega-mega byte data biografi diriku yang didownload dengan 4 disket murahan dari sebuah warnet, memenuhi sebagian besar alam bawah sadarnya dengan adegan-adegan yang tidak koheren, campur-aduk dan menjelma mimpi buruk yang berulang tiap malam dan di pagi harinya, merasakan sakit kepala karena sesak pikiran yang membanjir minta tubuh dalam rangkaian kalimat, seperti adegan-adegan yang terjadi berikut ini.

***

AKU tinggal di kamar bernomor 907, di lantai 2, di sisi luar tembok kamarku, neon sign hotel: Chelsea Hotel. Tiap senja aku biasa berdiri di depan jendela, berlama-lama menatap kejap-kejap lampu neon hotel yang menyimpan kesedihan sendiri yang berlarat-larat, memanggil-manggil jiwa-jiwa kesepian dari seluruh penjuru dunia untuk datang dan tinggal. Yang berencana hanya seminggu akhirnya akan terjebak bertahun-tahun dengan ritual tiap senja datang kembali ke meja resepsionis, memesan kamar yang sama meski menggunakan nama yang berbeda, menatap sebentar penghuni-penghuni baru, menjumpai situasi nausea yang sama, merasa semakin sendiri untuk kemudian kembali ke kamar dan menangis diam-diam di sudut ranjang.
Berdiri tegak bersama ingatan kejayaan masa lalu yang terus berlanjut di film-film terbaru, diapit oleh toko gitar bekas dan toko peralatan memancing, hotel ini adalah arus hidup itu sendiri. Chaos yang memanifestasikan diri melalui para individual yang berkeras hati untuk hidup dengan cara mereka sendiri, tubuh-tubuh yang menolak untuk patuh dan disiplin, meracuni roh dengan keindahan, tenggelam dalam kreativitas dan perbedaan, komuni egois yang pernah ada tidak untuk alasan tertentu kecuali hanya untuk mengejek kerumunan dan pemimpin-pemimpin politik mereka (demi segala roh, di hadapan wajah Kemanusiaan telah aku ludahi mereka dengan dahakku yang berwarna hitam).

Aku baru saja terbangun karena mendengar dering telepon semakin mengeras. "Not again," itu pasti telepon dari Andy Warhol. Andy adalah seniman jenius yang mampu menciptakan peradaban sendiri, kemampuan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang di dalam sejarah, tapi bagiku, dia tak lebih dari seorang teman baik yang hanya aku butuhkan untuk membunuh waktuku karena tidak lagi yang mengejutkanku di dalam kehidupan ini, "Sebentar A, aku akan menghidupkan alat perekam."
Beberapa bulan terakhir mesin-mesin berukuran kecil mulai mengambil alih segalanya, setelah orgasme tak berkesudahan dengan dildo, aku tergila-gila pada tape recorder dan kamera polaroid. Seperti seorang maniak, aku merekam apa pun yang terjadi di sekelilingku, percakapan-percakapan omong kosong dan gerak tubuh-tubuh yang terjebak dalam kekinian, akan menjadi abadi.

"Ok, Andy, sekarang kau bisa berbicara."
"Brigid, apakah kamu masih menyimpan kaset rekaman percakapanmu dengan ibumu? Aku akan membelinya 25 dolar sebuah."
"Kenapa kamu menginginkannya, isinya kan cuma pertengkaran-pertengkaran Freudian tak berujung pangkal..."

"Apakah kamu masih membenci ibumu?" Andy terus menerus menanyakan hal ini di telepon tiap pagi. Mungkin dia berharap aku mau sedikit mengubah kelakuanku pada ibuku.
"Ya, tentu saja masih. Aku masih belum mengerti kenapa dia terus memaksaku menguruskan badan dan menyuruhku untuk mengenakan gaun dengan renda-renda, hanya untul menjadi socialite yang elegan?"
"Dan Andy, sekali lagi aku katakan padamu, dia selalu memakai hairspray, bahkan ketika pergi tidur dan dia tidak peduli kalau aku selalu sakit kepala kalau berada di dekatnya, karena itu aku membencinya."

"Anyway, A, aku mau turun ke restoran sebentar, mulutku sangat kering, aku mau membeli coklat."
Setelah mendengar suara batuknya, Andi berkata, "Ok. Tolong cubitkan pantat penjaga lift yang mirip James Dean itu yah."
"Baik, A, aku segera kembali," aku mematikan tape recorder dan kemudian mencuci mukaku di wastafel.

***

LOBBY ini terlihat seperti galeri seni atau museum. Pada dindingnya aku temukan lukisan-lukisan dengan ukuran besar dari pelukis-pelukis yang pernah tinggal di sini. Tepat di bawah 6 jam dinding besar (penanda waktu dari seluruh dunia, di sini orang-orang hidup dalam waktunya sendiri-sendiri, sejumlah orang sedang makan malam terserak ke penjuru kota, yang lain baru saja mengalami mimpi buruk) dengan lingkaran sempurna, tergantung potret hitam-putih hotel ini pada tahun 1902, di sudut kiri bawahnya aku temukan, ditulis dengan tinta emas, berjudul The Tower of Babel.
Di sini aku melihat orang-orang dari masa lalu, hantu-hantu juga sampar berjalan hilir-mudik dengan bahasa-bahasa yang khas milik mereka sendiri. Pintu lift terbuka, aku melihat tetangga sebelah kamarku berdiri dengan mata sayu kurang tidur menatapku lurus-lurus, "Nanti syutingnya jam berapa?"

"Paling setelah makan siang," aku segera mendekat dan meraih tangannya, "Ayo kita ke restoran, sepertinya kau butuh ngobrol denganku!" Nico dengan ogah-ogahan menyeret kakinya mengikutimu. Oh, my God...bahkan pada situasi terburuk, perempuan yang satu ini tetap menjadi mahkluk terindah yang pernah diciptakan Popular Culture.
Restoran lengang. Kursi-kursi dan meja-meja berbincang-bincang dengan suara pelan. Dari sebuah jukebox di sebelah pintu masuk aku mendengar sebuah komposisi klasik dari Johan Sebastian Bach, "Air". Aku memilih meja di tengah. Aku paling suka menjadi bagian dari ruang kosong yang besar, perasaan keagungan yang tak terpermanai menjalar ke semesta yang terjauh.

Aku selalu ingat impresi pertama pertemuanku dengannya, sebuah kenyataan yang kasat mata bahwa Nico adalah orang yang menyukai kesendirian, dia selalu menutup diri pada orang-orang baru. Suatu kali aku pernah bertanya kenapa dia melakukan hal itu, dengan tegas dia menjawab, "Aku tidak mau dibebani masalah orang lain, aku ingin waktuku habis dengan bercakap-cakap dengan hantu ayahku yang dibunuh Nazi."
Sejak kecil Nico tidak pernah bertemu dengan ayahnya dan hidup dalam imajinasi kehadiran hantu ayahnya di manapun dia berada. Dan dia begitu membenci orang-orang yang memujanya karena wajahnya yang begitu cantik. Dia lebih suka dikenal sebagai perempuan pemberontak yang sedih, mabuk di atas panggung dan selalu overdosis, sebuah image yang baru-baru ini dipopulerkan oleh Janis Joplin.

"So, bagaimana kabar Andy, sudahkah dia meneleponmu pagi ini?"
Belum sempat aku menjawab, seorang waitress mendekat kemudian menyerahkan daftar menu. "Mau pesan apa?" sebuah pikiran menyeruak, betapa aku suka dengan hotel ini, bahkan wajah seorang waitress pun tak beda jauh dari bintang-bintang film di bioskop. "Kopi dan dua batang cokelat ukuran terbesar, Nico?"
"Susu cokelat hangat." Waitress mencatat di buku kecil dan tersenyum kecil sebelum berlalu.

"Ya, dia sudah telepon tadi, sepertinya dia terkena flu, dan Nico, Andy semakin paranoid, kemarin dia terpanik-panik sendiri, dia bilang sudah terlalu banyak drugs di gerombolan ini, dia takut kalau-kalau ada yang over dosis." Restoran lengang, "Air" dari Bach masih mengapung di udara.
"Aku tidak sabar untuk hari terakhir syuting ini," aku mengulurkan sebatang cigarette ke tangannya. Dia menolak ketika aku akan menyalakan, memain-mainkan di antara jari-jarinya yang lentik untuk kemudian dikulumnya, beberapa detik kemudian pandanganku mengabur, sepertinya sisa-sisa amphetamine dalam kepalaku aktif bekerja kembali, aku terserang halusinasi pada dinding restoran, dalam warna hitam putih aku melihat seseorang menembak seorang pendeta perempuan di dalam gereja, orang-orang berlarian, menahan jeritan dan bersembunyi di bawah kursi, darah mengalir dari reruntuhan altar menuju ke jalan.

***

HARI terakhir pengambilan gambar. Kamar 732. Orang-orang tidak sabar untuk merayakannya. Andy mengintip di balik lensa kamera, tiang-tiang penyangga lampu dan kabel-kabel berserakan. "Action!" Nico meraih gunting di sebelah telepon, menatap dirinya sendiri di depan cermin dan memulai monolognya, "Aku menjadi saksi kelahiran bintang-bintang dan kematiannya. Ribuan hari-hari yang penuh kesedihan dan nostalgia terus-menerus menyerangku tiap kali mesin projektor menembakkan cahaya di dinding Oh, waktu yang bersemayam dalam diri. Oh, waktu sinematik."

'Cut!" Andy keluar dari kungkungan lensa kamera, "Film ini akan menjadi dinamit bagi orang-orang tolol di luar sana, mari berpesta!"
Bintang-bintang baru berpelukan, dari kamera polaroid aku sempat melihat setetes air mata jatuh ke pipi Nico. Suara gedoran di pintu dan teriakan-teriakan. Tiba-tiba beberapa polisi merangsek ke dalam kamar dan langsung menggeledah badan. Semua terdiam. Mereka tidak menemukan apa-apa, kecuali beberapa pil lexotan. Di tengah serangan rasa panik, pada dinding aku melihat darah mengalir dari arah reruntuhan altar menuju ke jalan. (72)
Rembang, Januari-Juli 2004, teruntuk slettanti dewi


Read More Cerita ini.... Subscribe

Followers

 

Kumpulan Cerpen, Cerita Motivasi. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com