Gasa Foredi Gasa

Sabtu, 04 Juli 2009

Cerpen Yahoo Messagges

0 komentar

BACA JUGA BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN 400Juta dari internet, klik disini. GRATIS...Kok...!!
Cerpen Yahoo Messagges

Seandainya aku tahu bahwa semuanya akan sesakit ini, sedikit pun aku tak akan pernah mendekatinya. Walaupun sebenarnya aku tidak mendekatinya. Sampai detik aku menulis ini, seulas senyum pun tak pernah aku lihat di dirinya. Yah, mungkin memang semestinya keadaan ini cepat berlalu.

Dua minggu yang lalu
Whole thing come up, tanpa pernah aku menyadarinya. Aku pun tidak mengharapkan apa-apa.
Entah dari mana dia tahu nomor ponselku. Entah mengapa saraf perasaanku mencuat hingga aku putuskan untuk menelepon balik.
Sungguh. Aku tidak pernah begitu sebelumnya. Oh ya, aku adalah Bintang dan dia adalah Rangga.

"Halo, siapa ini?" sapaku kala itu.
"Eh, ini Rangga."

"Rangga? Rangga siapa? Kayaknya aku nggak punya temen namanya Rangga."
"Ini Rangga, temennya Yanuar…"

"Yanuar…" desisku. Siapa lagi itu Yanuar?
"Halo, halo…Bintang, ini aku!" Teriakan nyaring itu membuatku kembali meletakkan telinga di receiver.

"Oh, kamu Yan. Kupikir siapa. Ada apa?" sahutku lega, setelah tahu kalau itu Yan, temen sejurusanku.
"Nggak ada apa-apa."

"Terus?"
"Nggak tahu. Temenku satu ini aja yang agak sinting."

"Ya udah. Yuk ah."
Aku hanya tersenyum tipis setelahnya. Lalu aku kembali menekuni tugas algoritma yang membuatku pusing. Sampai di sini, rasa itu belum ada. Dan, aku tidak meyakininya akan ada. Semua itu terlalu sederhana dan biasa. Sama seperti cerita yang lain.

Sampai ketika malam itu, 12 hari yang lalu. Tengah malam.
Message alert tone ponselku berbunyi. Dari Rangga.

Isinya, "Kamu masih inget aku kan?" dan seterusnya dan seterusnya.
Aku sampai lupa kalau aku ngantuk dan harus bobo.

Rasa itu mulai berdesir lirih di hatiku. Setelahnya rasa itu kembali pupus. Rangga mungkin sudah lupa padaku dan aku pun terlalu sibuk. Tugas di kampus menyita hampir seluruh waktuku dan menyedot hampir 75 persen tenagaku.

Weekend minggu lalu.
Terlintas di kepalaku sebuah nama, Rangga. Cepat kuraih ponsel dan mulai memencet keypad. Message pertama yang membuatku jungkir balik karena kangen. Seperti sekarang ini.

"Malem minggu nih. Lagi nge-date ya?"
Balasannya yang kurang dari 5 menit mengatakan…

"Nge-date? Cewek aja nggak punya mau nge-date. Sama kamu, mau?"
Itu gombalannya yang pertama juga. Seterusnya, gombalan itu mengalir deras. Untuk beberapa saat lamanya aku sempat terlena. Tapi kemudian aku bangkit dan sama, ngegombal juga.

Message terakhir malam itu. Saat pulsaku telah berkurang Rp 10.000 banyaknya.
Dari Rangga.

"Selama ini aku tuh selalu cuek sama cewek. Yang nggak ya sama kamu ini. Aku jadi pengin kenalan langsung sama kamu."
Dariku.

"Datang aja ke rumah. You will know me."
Malam itu, aku tidur dengan senyum lebar menghias bibir. Ada yang berbisik lembut di nuraniku. Aku suka Rangga. Entah dari apanya. Wajahnya pun aku belum pernah lihat. Obrolannya pun aku nggak tahu. Itu ngegombal atau beneran. Hanya, hatiku berkata lain tentang cowok satu ini.

Hingga saat ini, 8 Oktober 2003. Rasa itu semakin berdegup kencang. Memenuhi dada. Setiap hari sejak seminggu lalu, message itu tidak pernah berhenti. Rangga selalu memenuhi inbox tanpa ada satu nomor lain pun yang bisa kusisipkan lagi di sana.

Rangga telah memenuhi neuron saraf otakku. Sebenarnya aku sendiri agak aneh merasakan hal seperti ini. Ya, maklum. Terakhir aku jatuh cinta semester 1. Sekarang sudah 2 tahun lebih. And none a thing happened. Sebelum ada Rangga.

Di salah satu message sempat kutanyakan.
"Who you really are?"

Dan jawabannya…
"Aku Rangga. Aku kul, udah semester 6 jurusan komunikasi. Aku punya cewek, namanya Bintang. She kinda love me a lot. And thank God coz we have the same desire."

Sejujurnya, secara logika aku tahu ada kemungkinan itu hanyalah rayuan. Tapi entah hatiku enggan menerima itu. Sehingga aku terhanyut.
Sering, dalam sendiriku aku bertanya, kenapa Rangga? Kenapa bukan yang lain? Padahal ada beberapa cowok yang serius ingin berpacaran denganku.

Namun, semua tetap menjadi pertanyaan bagiku. Rangga tidak akan pernah menjawabnya. Soalnya tadi siang, entah karena apa, yang ada dalam persepsiku, Rangga memintaku untuk back off secara halus. Bingungnya lagi, malam sebelumnya dia kirim message yang isinya…

"You’re the best girl I ever know. And I’m falling in love with you."
Which path I have to choose Rangga?
Tell me, would you?
BACA JUGA BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN 400Juta dari internet, klik disini. GRATIS...Kok...!!



Read More Cerita ini.... Subscribe

Cerpen; Malam Kian Kelam

0 komentar

BACA JUGA BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN 400Juta dari internet, klik disini. GRATIS...Kok...!!
Malam Kian Kelam

Kipas angin tergantung lesu di langit-langit, terperangkap sarang laba-laba berputar lambat jelmakan bayangan muram merayapi dinding abu-abu kusam bangsal rumah sakit itu. Kulihat ada bercak-bercak merah di sekujur tubuh lelaki itu, sesekali mulutnya menyeringai menahan nyeri yang menyangkut di tenggorokan. Kucium bau busuk napasnya hingga ke tempatku berdiri. Noda-noda kuning bekas air seni telah meninggalkan noda karat di atas sprei, dan laki-laki itu tak lagi sangup mengerahkan seluruh persendiannya. Seolah terbaca pada wajahnya bahwa usia adalah angka-angka yang tak lagi punya makna.



Pikiranku terasa penuh seperti genangan air kemih dalam tempolong yang minta segera dibuang ke kakus, setelah lewat jaga jam pertama. Infus telah diganti beberapa kali dan laki-laki itu bahkan tak mampu membuka kelopak matanya sendiri. Dari ruang sebelah masih terdengar erangan dan sengal napas, juga keluh para perawat yang harus menghabiskan sisa malamnya, menyesali waktu yang tak juga kunjung usai. Sementara malam merambat demikian perlahan dalam pekatnya cangkir kopi di atas meja. Rutinitas bergulir dari detik ke detik merangkaki malam yang kian lengang, lorong-lorong makin terasa suram di bawah temaram cahaya lampu 10 watt.

Dalam gelisahku aku berjalan dari satu ranjang ke ranjang yang lain di bangsal ini, penuh dengan wajah-wajah kelabu yang kusam menyedihkan, sedang di luar bulan menitik pada malam yang kian pudar menembusi lubang-lubang di dinding, tetesannya jatuh ke atas wajah lelaki yang aku tungui, membuat wajah itu semakin pucat tenggelam dalam matanya yang cekung. Malam kian kelam dan mulut lelaki itu menganga membentuk rongga, tenggelam begitu dalam seperti lobang sumur gelap mengantar senyap. Ada goresan batu di atas keningnya mengalirkan manik-manaik cahaya menghiasi dahinya dengan keheningan.

Laki-laki itu telentang dalam kesenyapan seperti sebuah arca yang beku. Tali hidupnya hanya sebatas desah napas perlahan yang nyaris tak terbaca. kedamaian seolah terlupa dari pembaringan itu seperti ada yang ingin segera pergi bersama daun-daun yang luruh di pekarangan rumah sakit ini.

Aku berasa bosan menunggu sendiri dan semut-semut merah serasa menjalari kaki, menggerumuti tubuhku sedikit demi sedikit dan tanganku bergetar setiap kali menangkap isyarat dari detak-detak jam di dinding di atas pembaringan lelaki itu. Pukul 11 lewat 15 menit masih beberapa puluh menit lagi sebelum waktuku habis. Jemu menunggu, aku jadi demikian tak sabar, padahal pekerjaan ini telah aku jalani berjuta-juta kali, tetapi setiap momen penantian selalu saja membuatku gelisah dan aku tak sanggup menafsirkannya mengapa.

Dingin malam terasa menggigit lebih dari biasanya, menusuk merembes lewat pori-pori dinding langsung menembus jubah malamku. Segera perasaanku tergoda untuk meminjam selimut lelaki itu karena kutahu ia tak akan memerlukannya sebentar lagi.

Aku dapat membaca pikiran dan kegelisahannya, sekali pun kabur seperti titik-titik embun dalam cadar kabut. Dunia laki-laki itu terperosok jauh ke dalam rumah-rumah gubuk di pinggir kali, gubuk-gubuk dari kertas karton dan papan kotak bekas, ada seorang bocah di sana, kulit dekil penuh koreng dengan mata kelereng yang bening barangkali itu satu-satunya mutiara yang dapat ditemukan di tempat busuk itu, dan juga seorang wanita dengan rambut acak-acakan sibuk oleh tumpukan kertas koran, kardus-kardus dan sampah. Kehidupan yang penuh dengan warna lumpur dan karat, sedang laki-laki itu berdiri saja di bendul pintu termangu untuk waktu yang sulit di duga.

Terlihat pandangan pasrah wanita itu, mungkin saja ia istri lelaki itu dan juga seorang bocah lelaki dengan tangan penuh koreng tengadah yang mungkin saja anaknya... mata-mata itu seperti mengharap sesuatu entah apa, namun yang pasti hanyalah sebuah tamparan di pipi dan tendangan di kaki yang mereka terima. Kabut yang suram seperti genangan keruh air kali tempat orang-orang membuang hajat, mandi dan gosok gigi. Dan bau busuk itu semakin keras tercium, di sini di atas pembaringan rumah sakit kelas kambing tempat laki-laki sekarat itu menahan pedihnya batu-batu yang merajam tubuhnya setelah sebuah usaha pencopetan yang gagal.

Aku jadi ingin bercakap dengan angin, “Maafkan aku kawan... sesungguhnya tak ada yang dapat kuperbuat untukmu sekarang, karena kau sendiri yang mencuri hidupmu.”

Kulihat air mata mengalir dari ujung mata lelaki itu seolah ia mengerti arti gumamku barusan, dan aku tahu ia tidak saja menyimpan kepedihan dalam bibirnya yang kelu, aku sadari dalam tiap peristiwa seperti ini selalu saja ada hal lewat yang harus di sesali. Laki-laki itu bukan saja telah kehilangan mimpi tapi ia juga telah kehilangan kesempatan. Tubuhnya jadi begitu dingin menyimpan luka-lukanya barangkali juga kepedihan dan kekecewaan hatinya, aku dapat merasakannya sampai jauh ke ulu hati, sedang di luar kudengar jeritan kelelawar dalam desah dingin malam.

Sesungguhnya aku tak begitu peduli, apakah dulunya lelaki itu cuma seorang gali atau seorang pencopet kelas teri yang akhirnya menemui nahasnya, ia tak lebih busuk dari orang-orang lain juga. Dunianya sungguh asing bagiku, karena aku lebih suka wangi kelopak-kelopak mawar dan kamboja yang luruh di terpa angin yang selalu membawaku kembali ke tempat ruh-ruh orang mati, dunia yang begitu tenang, jauh dari riuhnya peradaban, kebobrokan, dan kemunafikan manusia. Yang ada cuma jasad-jasad yang terbaring tenang dalam genangan waktu menunggu saat penghakiman tiba.

Dan laki-laki di atas pembaringan itu pun barangkali tak akan pernah menyadari bahwa aku sudah begitu dekat dengan dirinya hanya sebatas degupan jantung, hingga waktu itu pun tiba, pukul 11 lewat 55 tepat saatnya bagiku mengucapkan salam, mengecup kening laki-laki itu dan membawa arwahnya pergi.

Februari 2004






Read More Cerita ini.... Subscribe

Cerpen ;Kupu-Kupu

0 komentar

Cerpen Kupu-Kupu
BACA JUGA BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN 400Juta dari internet, klik disini. GRATIS...Kok...!!
Oleh Rahmayanti Husna

Seringkali, tepatnya pada pagi hari. Saat lonceng sekolah berbunyi 7 kali, kupu-kupu itu selalu ada di sekolahku. Kupu-kupu itu berasal dari sebuah pohon beringin nan rimbun di tepi jalan raya. Tak jarang orang-orang berdecak kagum saat melihat sarangnya.

Saat ia terbang menuju sekolahku, orang-orang yang biasanya tidur-tiduran di jalanan pasti akan mendongakkan kepalanya sejenak untuk melihat dengan mata penuh pengharapan. Sembari meloncat-loncat guna menangkap serbuk yang dibawa kupu-kupu dari sarangnya untuk dibagikan saat ia terbang.

Setelah kupu-kupu puas membagi serbuk-serbuknya, tanpa letih ia menggerakkan cepat sayap merahnya yang berabstrakkan emas, hijau, putih, dan kuning. Kupu-kupu itu berniat terbang ke sekolahku.

Di sekolah, kupu-kupu selalu berusaha mengisap madu-madu yang telah dibuat dan dikumpulkan dengan susah payah oleh tawon-tawon di sekolahku. Entah mengapa tawon-tawon yang sarangnya terletak di pohon nangka nan jauh tinggi di sana selalu memuji kupu-kupu. Bahwa hanya kupu-kupu yang berusaha sekuat mungkin tanpa menghiraukan sayapnya yang pasti lelah untuk mencapai sarang tawon di atas pohon.

Teman-temanku pun memujinya karena orang tua kupu-kupu itu pun suka membagikan serbuk-serbuk kupunya dalam jumlah banyak untuk sekolahku. Tepatnya untuk pembangunan sekolahku. Entah bagaimana serbuk kupunya itu berpengaruh. Tapi yang pasti, pembangunan di sekolahku cukup lancar karena katanya adanya serbuk kupu.

Saat bel istirahat berbunyi, kupu-kupu itu selalu terbang ke mana-mana, tapi masih dalam lingkungan sekolahku. Teman-temanku tak bosan memujinya. Bahkan bunga-bunga, dari yang layu hingga yang sangat indah, seolah memekarkan mahkotanya sembari berseri-seri, menanti kupu-kupu itu lewat dan berharap untuk hinggap atau mungkin hanya melihat mereka.

Hingga akhirnya kupu-kupu itu terbang di atas bunga-bunga itu secara bergantian. Raut muka bunga-bunga itu menggambarkan perasaan berdebar-debar campur senang. Walaupun kupu-kupu itu hanya melihat mereka.

Sebenarnya aku tak seberapa menghiraukan adanya kupu-kupu itu. Sampai akhirnya kemarin siang, hari yang mengejutkan menurutku. Waktu itu aku berjalan-jalan di lorong sekolah dengan teman-temanku. Aku terus berjalan sambil bercerita dan bercanda.

Tiba-tiba ekor mataku menangkap adanya kupu-kupu itu terbang jauh ke atasku dalam jarak beberapa meter di depanku. Teman-temanku serempak berbisik-bisik kagum. Entah mengapa kupu-kupu yang biasanya terbang tinggi itu terbang rendah di hadapanku. Lalu, dengan gemulainya kupu-kupu itu menggerakkan sayapnya untuk terbang mengelilingiku.

Beberapa saat kemudian, baru kusadari teman-teman di sekitarku memandangiku dengan pandangan curiga campur iri. Bunga-bunga yang tadinya terlihat senang sambil membuka mahkotanya dengan serempak menutup cepat. Itu mungkin menggambarkan kecemburuan dan keiriannya padaku. "Hei, bagaimana mungkin kalian iri dan cemburu padaku padahal kupu-kupu itu hanya terbang sambil berputar mengelilingiku," kataku pada mereka.

Tapi percuma. Yang kudengar hanyalah desisan angin menderu-deru, yang akhirnya kutahu berasal dari bunga-bunga. Mereka tak menyadari bahwa perasaanku seperti teriris-iris saat itu.

Hari berikutnya, kupu-kupu itu mulai hinggap di daun pintu kelasku. Dengan kepakan sayapnya yang indah, teman-temanku yang semula sibuk mengerjakan PR berlari menuju pintu untuk melihat kupu-kupu itu.

Aku yang pemalu tak mungkin melakukan hal yang sama dengan teman-temanku tadi. Kupu-kupu itu sudah menjadi bahan pembicaraan rutin di sekolahku. Bahwa kupu-kupu itu berwarna menarik, punya kepakan sayap yang indah, dan lain-lain.

Saat itu, aku tahu kupu-kupu itu sedang memperhatikanku. Kupu-kupu itu menunjukkan kepakan sayapnya tepat ke tempatku. Mungkin karena aku juga selalu melihatnya, kupu-kupu itu semakin sering hinggap di daun pintu kelasku sambil mengepakkan sayapnya yang diperlihatkan padaku.

Hari berikutnya, kupu-kupu itu lebih berani dan sering masuk ke dalam kelasku, berputar-putar ke sekeliling kelasku dahulu lalu berhenti hinggap di depan mejaku. Juga terkadang di bangku sebelahku. Para bunga semakin iri melihatku.

Hingga sampai tadi pagi, kupu-kupu itu terbang seperti biasa ke kelasku. Tetapi kupu-kupu itu mengubah tempat berlabuhnya. Tidak lagi di depan atau di sampingku, tapi di tanganku yang saat itu sedang memegang pensil. Dengan lihainya ia menggerakkan tanganku. Hingga di kertasku tercetus huruf-huruf berkesinambungan nan indah dan membentuk kalimat:

Selamat tinggal sahabat dekatku. Hingga detik ini tak pernah terpikirkan di benakku bahwa mulai saat ini aku tak akan bisa bersamamu atau mungkin kita tak dapat bertemu lagi. Tapi kau tetaplah pujaanku yang akan selalu di hatiku. Walau kutahu hatiku pasti terasa pilu saat jauh darimu dan akan selalu teringat saat-saat menyenangkan denganmu, itu akan menjadi kenangan indah dan tak dapat kulupakan. Apakah semua itu akan terulang kembali? Entahlah. Tapi saat ini aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal. Selamat tinggal dan berjanjilah kau tak akan pernah melupakanku.

Saat itu aku hanya diam sambil terus memandangi kata-kata itu tanpa menyadari bahwa kupu-kupu itu telah pergi. Aku pasti tak akan pernah melupakannya. Ia adalah sahabatku yang baik dan cakap. Aku baru mengerti bahwa hingga saat ini aku sangat menyukainya.

Esok harinya aku mendengar bunga-bunga berbisik, teman-teman pun saling berbicara tentang kupu-kupu itu. Aku tak mempedulikan hingga kudengar kata-kata yang sangat menusukku.

"Ia pergi karena orang tuanya. Orang tuanya tak setuju ia dekat dengan seorang cewek di sekolah ini. Hingga ia dipaksa oleh orang tuanya untuk pindah ke tempat tinggal yang lebih nyaman, yaitu ke negeri dongeng nan jauh di sana. Jauh dari sini, sangat jauh…"





Read More Cerita ini.... Subscribe

Cerpen; Ibu, di Manakah Engkau?

3 komentar

Cerpen; Ibu, di Manakah Engkau?

BACA JUGA BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN 400Juta dari internet,
klik disini. GRATIS...Kok...!!
Ibu, di Manakah Engkau?

Cerpen; Ibu, di Manakah Engkau?
Setiap kali aku melintas di jalan raya, terlebih saat lampu merah menyala, selalu kuamati. Adakah sosok ibuku di sana, di antara pengemis-pengemis itu? Kupandangi wajah-wajah wanita pengemis itu. Sungguh berharap ibu ada di antaranya. Tak malu aku mengakui beliau, membawa beliau masuk ke mobil jika beliau ada di depan mataku sekarang. Tak ragu aku memeluknya, menciumnya meski keadaannya kotor dan berdebu. Sungguh aku mau ibuku, aku ingin berbagi kebahagiaan bersamanya.

Penantianku sudah pada puncaknya. Lima belas tahun bukanlah tahun, bukanlah waktu yang singkat. Terus menerus berharap, setiap hari berharap menemukan ibu. Dari saat aku masih di SD, saat aku diantar pak sopir, aku selalu melihat ke jalan, mengamati jalanan untuk menemukan sosok ibu, hingga saat ini di mana aku sudah mengendarai mobil sendiri. Setiap malam selalu berdoa, ingin dipertemukan dengan ibu, terkadang sampai menitikkan air mata, menahan kerinduan untuk bertemu beliau. Hari inipun sama, aku tidak menemukan sosok ibuku. Ibu di manakah engkau? Tak rindukah engkau pada diriku? Ibu, aku ingin bertemu denganmu…

Mungkin kalian merasa heran, mengapa aku yang hidup boleh dibilang mapan, mempunyai ibu seorang pengemis. Heran, mengapa tidak malu mengakui beliau dan mengapa masih tetap mencarinya walau 15 tahun sudah berlalu. Saat ini ceritakan peristiwa 15 tahun yang lalu…
Desember 1989

"Ibu, kita mau ke mana?" siang begitu teriknya ibu menarik aku keluar dari rumah. "Kita jalan-jalan kemudian beli boneka, ya," sahut ibu. Belum sempat aku tersenyum bahagia, ibu menyahut, "Wajahmu nanti harus cemberut, ibu nggak mau kamu tersenyum." Setiap harinya tetap sama, namun hari ini aku berharap sungguh akan berjalan-jalan dan membeli boneka, karena hari ini ulang tahunku yang ke delapan dan aku tidak ingin menghabiskan waktu di jalan, yang kata orang kita-kita ini adalah pengemis. Namun jika tidak menuruti nasihat ibu, apa jadinya nanti. Pernah aku melihat ibu menangis, menangis sedih sekali dan aku tidak mau menambah kesedihannya lagi. Dan bukanlah surga ada di telapak kaki ibu, kata ibu kalau ingin masuk surga harus menuruti nasihatnya.


"Ibu, aku capek, kita mau ke mana lagi, hari sudah gelap," kataku dengan suara serak. "Tahan sebentar lagi, sebentar lagi sampai," sahut ibu sambil mengelus kepalaku.
"Ah, ini rumahnya," ibu menekan bel pintu dengan segera.

Rumah yang begitu besar, pagarnya tinggi, halamnnya luas. Sungguh betul-betul mirip istana. Seseorang datang dan tampak sudah mengenal ibu.
"Ibu Parmi, ya, silahkan masuk, sudah ditunggu nyonya."

Ibu pun masuk sambil menggandeng aku, kemudian ibu bercakap-cakap dengan wanita yang nampaknya disebut nyonya oleh mbak yang tadi membuka pintu, sedang aku dibiarkan duduk sendiri. Beberapa saat kemudian ibu memanggilku, katanya, "Dinda, mulai malam ini Dinda tinggal di sini, Dinda harus jadi anak baik dan penurut ya, dengan tante ini kamu nanti bisa punya boneka banyak, tak perlu kepanasan lagi dan bisa sekolah. "Aku merengek tak mau berpisah, ibu aku pegang dengan erat. Aku takut, takut hidup tanpa ibu. "Dinda pasti bahagia dan jadi anak sukses, nanti jemput ibu ya, sekarang ikut sama tante ini."

"Nggak, nggak, aku mau ibu," kataku.
"Ibu sayang kamu, ibu beri yang terbail untukmu, maafkan ibu ya," ibu mencium kenigku lalu pergi…

Sejenak aku berontak, berusaha lari mengejar ibu, namun tidak bisa, tangan yang kuat mencengkeramku dan ibu sudah berlalu. Ibu sudah pergi… ibuku pergi… dan aku hanya bisa menangis.

Sudah seminggu ini aku mogok bicara, hanya menangis dan berpikir bahwa ibu jahat sekali, tega meninggalkanku sendiri. Pernah aku berpikir untuk keluar mencari ibu. Namun aku tak mampu, tak tahu arah dan di mana ibu sekarang. Tante dan om baik sekali, mereka tetap sabar padaku, mereka memperhatikan dan mencintaiku. Kadang aku melihat gurat khawatir dan sedih di mana tante, tetapi aku juga sedih harus berpisah dengan ibu. Di hari kedelapan aku menemukan sepucuk surat…

Dinda, ibu sayang Dinda. Dinda baik-baik saja kan, nggak nakal kan. Dinda masih kecil jadi masih belum mengerti, tiap malam ibu berdoa supaya Dinda senang, sekolah dengan baik dan jadi orang sukses. Ibu ingin yang terbaik bagi Dinda, walau itu berat. Tante dan om sangat baik. Mereka sayang Dinda, jadi berusaha cintai mereka, ya. Turuti mereka seperti kamu menuruti ibu dan ibu mengizinkanmu memanggil mereka ibu dan bapak. Ibu bahagia punya anak manis sepertimu. Doa ibu besertamu.

Air mataku menetes dan saat itu pula kurasakan kehangatan tante dan om. Mereka memeluk dan menciumku.

Nah, akhirnya hidupku dapat seperti sekarang ini, aku disekolahkan, dididik, dirawat bagai anak sendiri. Mereka mencintaiku, demikian pula aku. Namun peristiwa malam itu tak pernah kulupakan, hingga saat ini aku terus mencari ibu. Hidupku akan terasa hampa bila aku tidak dapat menemukan ibu. Cintanya begitu besar bagiku dan sudah saatnya aku membahagiakannya pula. Aku akan terus mencari engkau ibu, dua puluh tahun, dua puluh luma tahun, tiga puluh tahun bahkan sepanjang sisa hidupku akan tetap aku cari.
Aku merindukanmu… ibu memunculkan sosokmu…






Read More Cerita ini.... Subscribe

Cerpen ; Eksperimen Orang-orang Kidal

0 komentar

Cerpen-Eksperimen Orang-orang Kidal

BACA JUGA BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN 400Juta dari internet, klik disini. GRATIS...Kok...!!

ERIC memandangku dengan tajam. Dan aku pun tidak dapat melepaskan sorot mataku padanya. Kami sama-sama memegang pistol yang telah kami putuskan untuk digunakan melukai satu sama lain. Pistol-pistol kami telah diisi. Lama setelah kami sering mencoba dan menguji, juga membersihkan secara hati-hati setiap selesai latihan, kami pun kembali membawanya. Pelan-pelan kami merasa logam yang dingin itu mulai menghangat.

Dilihat secara objektif, sebuah pistol tampak benar-benar sangat tidak berbahaya. Toh seseorang bisa memegang sebuah pena atau sebuah kunci yang berat dengan cara yang sama. Orang bahkan bisa menimbulkan jeritan seorang wanita penakut dengan menggerakkan jari-jari di dalam sarung tangan kulit warna hitam.

Tetapi aku tidak boleh membiarkan pikiran masuk ke otakku bahwa pistol Eric mungkin tidak berisi peluru atau tidak berbahaya. Atau sekadar mainan. Dan aku pun sama sadarnya bahwa tak sedetik pun Eric meragukan keseriusan senjataku. Sekadar mengukuhkan tekad kami, kami memreteli pistol-pistol kami baru setengah jam lalu, membersihkannya, memasang kembali dan mengisinya lagi dan, akhirnya, melepaskan gesper pengaman. Kami bukanlah para pemimpi.

Sebagai tempat untuk tindakan kami, kami memilih rumah kecil Eric yang biasa digunakan berakhir pekan. Bungalownya dapat dicapai dengan perjalanan lebih dari satu jam dari stasiun KA terdekat. Oleh karena itu, cukup terisolasi bagi kami untuk mengasumsi bahwa semua telinga yang tak diinginkan hampir dipastikan tak bakal mendengar bunyi tembakan.

Kami telah membersihkan ruang tamu dan memindahkan gambar-gambar dari tembok. Bagaimanapun, peluru-peluru yang akan ditembakkan tidak akan diarahkan pada kursi-kursi, atau side-board yang gemerlap atau gambar-gambar yang diberi pigura indah. Juga tidak akan kami arahkan pada cermin atau pun porselin di ruang itu. Kami sendirilah yang akan kami sasar.

Kami berdua adalah orang-orang kidal dan telah saling kenal lewat klub. Sudah tentu Anda tahu bahwa orang-orang kidal di kota ini -seperti semua orang lainnya yang memiliki kelainan yang sama- telah mendirikan klub untuk mereka sendiri. Kami bertemu secara rutin dan terus-menerus berusaha untuk meningkatkan kekuatan tangan kanan kami yang canggung. Untuk beberapa waktu tertentu seorang yang biasa menggunakan tangan kanannya mengajari kami. Sekarang, sayangnya, ia tidak akan datang lagi. Para pejabat kehormatan kami mengkritik metode pengajarannya dan memutuskan agar para anggota klub hendaknya berusaha dan belajar atas inisiatif sendiri.

Sebagai akibat keputusan ini, kami kemudian berusaha menggabungkan permainan-permainan yang dirancang secara khusus (meski tidak wajib) dengan ujian keluwesan yang beragam. Sebagai contoh, kami berusaha melakukan gerakan-gerakan sederhana seperti memasukkan benang di lubang jarum, menuangkan minuman, mengancingkan atau melepas kancing -semua dengan tangan kanan. Satu dari sejumlah ketentuan dalam anggaran dasar kami menegaskan bahwa "kami tidak akan berhenti sampai tangan kanan kami seperti tangan kiri."

Kalimat ini tampaknya memang tegas dan tepat, tetapi sebenarnya adalah omong kosong belaka. Kami tidak pernah berhasil mencoba hal itu. Sayap ekstrem dalam organisasi kami sebenarnya telah mulai melakukan agitasi sementara waktu bahwa slogan itu harus dibuang dan sebagai gantinya, slogan kami hendaknya berbunyi: "Kami harus bangga pada tangan kiri kami dan tidak merasa malu pada cara-cara kami yang telah kami bawa sejak lahir." Namun, memang, slogan ini pun tidak tepat. Hanya simpatinya dan keroyalan emosional tertentu yang membuat kami memilih kata-kata ini. Aku dan Eric, yang keduanya dipandang termasuk kaum ekstremis di Klub, sadar benar betapa dalam sebenarnya rasa malu kami berakar.

Pertama dari rumah orangtua, kemudian sekolah, dan akhirnya saat kami berdinas dalam ketentaraan. Tak ada satu pun yang membantu mengajari kami untuk menerima kelemahan kami ini dengan rasa kesejajaran -meskipun sebenarnya kelemahan ini kecil dibanding kelainan-kelainan lainnya yang dapat diketahui secara luas.
Kesadaran bahwa kami "berbeda" sudah ada sejak dini. Sudah lama sejak masa kanak-kanak sering diperintahkan dengan kata-kata "jabat tangan, sayang". Dengan para bibi, paman, kawan-kawan ibu semasa gadis, kolega-kolega ayah; dan lebih penting lagi, foto-foto menyedihkan dalam keluarga yang mempergelap wawasan setiap anak.

Tangan setiap orang harus dijabat. "Tidak, sayang, tidak tangan kecil yang nakal itu, tangan yang baik, yang pintar, tangan yang luwes, satu-satunya tangan yang benar -tangan kanan."
Aku berusia 16 tahun saat aku menyentuh seorang gadis pertama kalinya. "Pergi," kata gadis itu dengan suara kecewa. "Kau kidal," dan seketika itu pula dia menarik tanganku keluar dari dalam bluesnya.
Kenang-kenangan seperti itu tak mau hilang dan kalau pun aku dan Eric, sebagai penyusun slogan baru itu berusaha untuk menerimanya, kami hanyalah berusaha untuk mencapai definisi ideal yang tak mungkin dicapai.

Sekarang bibir Eric terkatup rapat dan kedua matanya hampir menutup. Aku ikuti contohnya. Otot-otot di wajah kami menegang, ubun-ubun kami mengencang dan lubang-lubang hidung kami bergerak-gerak. Eric lalu mengingatkan aku tentang seorang bintang film yang gambar-gambarnya telah sangat dikenal dalam film-film petualangan.
Aku bertanya-tanya apakah aku kini mirip dengan salah satu tokoh pahlawan yang meragukan di layar perak?

Aku yakin kami tampak ketakutan dan aku pun gembira bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikan kami. Setiap saksi yang tak diinginkan pasti akan mengira bahwa dua laki-laki yang sedang dimabuk asmara sedang berkelahi -memperebutkan seorang wanita; rumor fitnah; perselisihan keluarga yang telah turun-temurun; utang kehormatan; permainan berdarah tentang kalah dan menang. Hanya orang-orang bermusuhan yang dapat saling melihat seperti ini. Perhatikan saja bibir-bibir bawahnya itu, juga gerakan-gerakan di hidungnya. Mereka tampak sedang memuntahkan rasa kebencian mereka -yang diwarnai dengan keinginannya untuk membunuh.

Namun kami berkawan. Meskipun profesi kami berbeda -Eric adalah kepala departemen sebuah toko serbaada yang besar dan aku memilih berdagang barang presisi mesin- kami memiliki banyak kesenangan yang sama untuk menjaga perkawanan kami. Eric telah menjadi anggota klub lebih lama dibanding aku. Aku ingat benar pada saat aku mengikuti pertemuan di "Klub Satu Sisi" untuk pertama kalinya. Aku merasa malu, kurang percaya diri dan berlebihan caraku berpakaian. Eric mendatangi aku saat itu dan mencoba mendorong namun aku tetap belum bisa menghilangkan rasa kecurigaanku yang berlebihan. Dia mengatakan: "Aku yakin kau ingin bergabung dengan kami. Jangan malu; kami semua di sini saling membantu."

Anda lihat bahwa aku baru berbicara tentang "Klub Satu Sisi". Ini adalah nama resmi kami. Tetapi hal itu juga, seperti bagian besar dari anggaran dasar kami, tampak padaku sebagai nama yang salah. Nama itu tidak serius menunjukkan apa yang hendaknya mengikat dan memperkuat kami. Aku berpendapat kami lebih baik menggunakan nama "Orang-orang Kidal" atau bahwa "Kidal Bersaudara". Tetapi Anda pasti dapat menduga mengapa kami menolak ide untuk mendaftarkan klub tersebut dengan nama yang terakhir itu. Tak ada yang lebih jauh dari kebenaran dan tentunya lebih menyakitkan daripada upaya yang menyamakan kami dengan hal-hal yang menimbulkan belas kasihan, padahal alam menyimpan kemungkinan perlakuan adil pada seni bercinta.

Sangat berbeda dari kenyataan itu, kami sebenarnya adalah kumpulan orang yang beragam. Dan aku bisa mengatakan tanpa ragu bahwa, berkaitan dengan kecantikan, keramahan atau hubungan sosial, teman-teman wanita kami umumnya jauh lebih cantik daripada rekan-rekannya yang biasa menggunakan tangan kanannya.
Buktinya, jika seseorang dengan hati-hati membandingkan keduanya, satu gambaran tentang nilai-nilai moral dan sikap akan muncul. Ini akan membuat pendeta yang selalu berpikir tentang penyelamatan dan kesejahteraan spiritual umatnya berseru di atas mimbarnya: "Seandainya saudara semua orang-orang kidal."

Alangkah merepotkannya nama klub itu! Bahkan ketua kami yang pertama, seorang pejabat tinggi di Kantor Perdaftaran Tanah Kotamadya yang, sayangnya, menolak berpikir dan bertindak sesuatu yang terlalu mendikte, juga mengakui bahwa kami tidak menggunakan nama yang tepat. Kata "kiri" tidak ada dalam nama itu dan kami pun jelas bukan orang-orang satu-sisi, baik secara fisik, dalam pikiran-pikiran kami, emosi, atau tindakan-tindakan kami.

Jelas, faktor-faktor politik tertentu juga dipertimbangkan ketika kami menolak beberapa saran tentang kemungkinan nama yang terdengar lebih baik dan kami akhirnya memilih nama yang akhirnya juga tidak tepat. Bagaimanapun juga, seseorang harus mempertimbangkan bagaimana para anggota parlemen (di gedung parlemen dalam tradisi Eropa-Pen) cenderung bergerak dari tengah ke salah satu sisi atau lainnya dan bagaimana tempat-tempat duduk di Majelis Rendah ditata sedemikian rupa sehingga posisi mereka menunjukkan indikasi jelas tentang orientasi politik negeri kita. Sudah menjadi kebiasaan yang diterima untuk menunjukkan suatu radikalisme berbahaya pada setiap artikel tertulis, pada setiap pidato di mana kata "kiri" muncul lebih dari sekali.

Namun, pada kaitan tersebut kami yakin tak perlu ada yang khawatir. Bila ada satu organisasi di kota kami yang jelas-jelas tanpa ambisi politik macam apa pun dan didirikan dengan satu tujuan saling membantu dan memupuk hubungan sosial -maka itu adalah organisasi kami. Dan sekadar untuk menunjukkan dusta itu terakhir kalinya pada setiap pikiran tentang penyelewengan erotis, aku hanya ingin menyebut sebentar bahwa aku bertemu tunanganku di antara gadis di kelompok remaja kami. Kami sekarang berencana menikah sesegera mungkin begitu mendapatkan kamar flat yang kosong.
Kalau bayang-bayang yang menutupi perasaan egoku saat hubungan seks pertamaku dengan wanita bisa lenyap, aku jelas berutang budi atas pembebasanku dengan Monica.

Percintaan kami harus belajar memecahkan tidak hanya ujian dan kesulitan yang sudah umum diketahui dan digambarkan, tetapi juga kelemahan fisik kami harus diatasi dan bahkan diagungkan sebelum kami dapat mencapai kegembiraan kami sekecil apa pun.
Dalam kebingungan pertama kami, bisa dimengerti, kami berusaha saling menyenangkan satu sama lain dengan menggunakan tangan kanan kami sampai kami tahu betapa tidak sensitifnya tangan kami yang impoten ini. Lalu kami menyentuh dan meraba-raba dengan bersemangat, menggunakan tangan yang dianugerahkan Tuhan pada kami untuk tujuan ini. Aku yakin aku tidak memberikan setiap rahasia begitu saja.

Aku juga tidak bermaksud gegabah ketika aku mengungkapkan itu di sini, berulang-ulang, bahwa tangan Monica-lah yang memberikan aku kekuatan untuk bertahan dan memenuhi janji-janjiku. Langsung setelah kami nonton film pertama kali, aku meyakinkannya bahwa aku akan menghormati keperawanannya sampai kami tukar cincin, sayangnya di tangan kanan, sesuai kebiasaan dan menunjukkan anehnya kecenderungan alami kami.

Dan meski demikian, di negara-negara Katolik wilayah selatan, simbol emas perkawinan itu dikenakan di kiri. Pastilah itu merupakan isyarat pemberontakan, yang dimaksudkan dalam upaya membuktikan logika berpikir wanita dalam keadaan stres. Itulah ketika nilai-nilai terancam, yang mendorong para wanita muda anggota organisasi kami membordir kata-kata "sisi kiri -sisi hati" seperti tulisan di bendera hijau klub kami.

Berkali-bali aku dan Monica berbicara tentang saat bertukar cincin dan kami pun secara variatif tiba pada kesimpulan yang sama: astaga, kami tidak mampu menghadapi dunia yang tak diketahui dan juga terlalu sering jahat sebagai pasangan bertunangan, padahal faktanya kami mestinya sudah menikah, menghadapi bersama persoalan kecil atau besar.

Monica sering menangis soal cincin itu. Sehingga, terlepas bagaimana menggembirakannya dan cemasnya kami mengantisipasi hal ini, bahwa pada hari gembira kami, sedikit kabut kesedihan akan menyelimuti kado-kado yang indah, meja-meja yang penuh makanan lezat, dan acara-acara yang menyenangkan.
Kini Eric memandangku sekali lagi dengan wajahnya yang normal dan ramah. Aku juga santai, tetapi aku masih merasakan ketegangan di dalam otot-otot rahangku, menyentakkan pelipisku. Aku yakin wajah-wajah yang mengerikan tidak akan menjadi kami. Sekarang mata kami menatap lebih tenang dan dengan keberanian yang lebih besar.

Kami saling mengarahkan moncong pistol pada tangan tertentu. Aku sangat yakin bahwa aku tidak akan meleset dan tahu bahwa aku juga percaya pada Eric. Kami telah berlatih terlalu lama -menghabiskan waktu hampir setiap ada kesempatan di sebuah galian batu yang telah ditelantarkan di pinggiran kota kami. Jelas, kami tak bakal bisa meleset karena terlalu banyak yang dipertaruhkan.

Anda mungkin menolak keras dan mengatakan bahwa penyiksaan diri ini mendekati perilaku sadis. Percayalah, kami sudah akrab dengan semua argumentasi itu. Tidak ada kejahatan di mana kami saling tuduh satu sama lain. Ini juga bukan pertama kalinya kami berdiri di ruang kosong ini. Empat kali kami sudah saling berhadapan dengan memegang senjata seperti kami sekarang lakukan. Empat kali kami menjatuhkan pistol kami karena takut dan terkejut atas rencana kami. Baru sekarang, akhirnya, kami mengalami ketenangan dalam maksud kami.

Peristiwa-peristiwa belakangan dalam kehidupan pribadi kami sekaligus di klub membenarkan rencana kami. Kami harus tetap melanjutkan rencana. Setelah keraguan yang berlarut-larut, saat kami bahkan mempertanyakan tujuan-tujuan klub dan sayap ekstremnya, kami akhirnya mengambil senjata api kami. Namun sayangnya, kami tidak dapat lagi seperti sebelumnya. Keyakinan kami menuntut kami mundur dari berbagai aktivitas teman-teman anggota lainnya.

Sebuah hal baru tampaknya menguat akhir-akhir ini, dan bahkan di kalangan para anggota yang paling stabil pun ada penyerangan para pemimpi dan fanatik. Yang pertama di satu sisi memberikan semangat dan melebih-lebihkan, sementara yang kedua di sisi lainnya mengutuk dan bersumpah segala. Slogan-slogan politik dibuat olok-olokan dari meja ke meja lainnya -sesuatu yang aku pikir tidak mungkin kami pikirkan di kelompok kami.

Dan pemujaan menjijikkan dalam pengambilan sumpah telah berkembang dalam bentuk di mana orang kidal menancapkan paku dengan palu. Sedemikian cepat menyebarnya sehingga banyak pertemuan para pimpinan kami menyerupai suatu pesta gila-gilaan dengan tujuan utama sepertinya untuk mencapai puncak kenikmatan melalui pukulan obsesif dan terus-menerus. Dan meskipun tak seorang pun berbicara tentang itu, dan mereka yang paling jelas jadi cacat moral, sebegitu jauh telah dipecat, tidaklah baik mengingkari kesalahan itu.

Dan bagiku, percintaan yang sangat tidak masuk akal antara para anggota dengan jenis kelamin yang sama telah memperoleh pengikut di antara kami. Bahkan lebih buruk lagi, hubunganku dengan Monica juga terpengaruh. Dia menghabiskan banyak waktunya dengan teman wanitanya, seorang yang tak stabil dan tidak konsisten. Begitu sering dia menuduhku terlalu lemah dan kurang berani untuk segera bertunangan. Aku tidak bisa lagi merasa saling percaya di antara kami dan lebih dari itu dia bukan Monica yang dulu. Sekarang Monica juga makin jarang dalam pelukanku.

Aku dan Eric kemudian berusaha menyamakan helaan napas kami. Makin lama kami setuju secara harmonis, bahkan dalam situasi sekarang, makin yakinlah kami bahwa tindakan kami terinspirasi oleh instink yang kuat. Jangan pikir kami mengikuti perintah Kitab Suci untuk melenyapkan iblis. Ini lebih pada keinginan kuat dan terus-menerus untuk memperoleh kejelasan dan mengetahui di mana seseorang bersikap dan apakah nasib seseorang tidak dapat ditarik atau apakah hal itu bisa dicampurtangani dan hidup kita diarahkan kembali ke jalur-jalur yang normal.

Tidak ada lagi pembatasan atau larangan yang sifatnya kekanak-kanakan -pembalut-pembalut atau tipuan-tipuan serupa. Tegas dan independen, tak lagi terpisah dari norma, atas pilihan kami sendiri, kami ingin memulai sesuatu yang baru dengan tangan yang menggembirakan.

Kemudian napas kami benar-benar sudah sangat tenang. Tanpa satu isyarat pun kami menembak secara bersamaan. Eric telah menembak tepat sasaran, dan aku juga, tidak mengecewakannya. Sesuai rencana, masing-masing kami menembak pembuluh darah yang vital sedemikian rupa sehingga pistol-pistol kami, karena tak lagi terpegang kuat, jatuh di lantai.
Kami tertawa dan mulai eksperimen besar kami dengan secara canggung memasang pembalut darurat, bergantung sepenuhnya pada tangan kanan kami. (72)

Catatan:
Guenter Grass adalah novelis, cerpenis, dan pelukis Jerman, pemenang Hadiah Nobel Kesusastraan 1999. Alihbasa Djoko Pitono. Klik Disini


Read More Cerita ini.... Subscribe

Cerpen

0 komentar

Cerpen atau cerita pendek merupakan cerita singkat yang sekali baca habis. Artinya, dalam satu cerita, cerpen dapat kita serap makna yang tersirat di dalamnya.
BACA JUGA BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN 400Juta dari internet, klik disini. GRATIS...Kok...!!
Berikut ini, Sebuah cerpen yang semoga aja mampu mengubah pola pikir kita. Amiiin....

Masa Depan Indonesia Minus Jawa


Saya mengobrol dengan dua orang yang cemas. Pertama pengurus negara, yang kedua pengamat keadaan. Posisi saya adalah keranjang sampah, karena pengetahuan saya sendiri nul-puthul tentang perpolitikan negara. Pertama si pengurus negara mengeluh tentang kemungkinan akan ramainya perpolitikan Indonesia pada Juli-Agustus lusa ini.

"Kok begitu", tanya saya. "Biasa. Orang belum puas untuk berebut kekuasaan", si pengamat menjawab. "Siapa saja sih orang itu?", saya mengejar. "Hamzah terus sibuk menyanyikan lagu-lagunya sendiri, tidak dalam satu komposisi dan aransemen dengan Presidennya. Mereka bukan dua pemimpin yang berpartner untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat. Mereka berlomba dengan pentasnya masing-masing, dengan kapasitasnya, pembiayaannya, akses-aksesnya, serta rahasianya masing-masing"

"Wah, serem ya", kata saya, "terus apa hanya dua itu yang perang dingin?" "Semua tokoh sebenarnya sedang merintis dan membangun rencana-rencana kekuasannya. Gus Dur pantang mundur, meskipun sudah ditinggalkan oleh sangat banyak anak-anak buah yang dulu mendukungnya.

Amin Rais mungkin bisa saja memandang NU yang sedang dirundung duka oleh pengalaman politik Gus Dur sebagai calon partner yang bargaining powernya bisa dia mainkan. Kita jangan kaget kalau nanti menjumpai tandem Amin Rais - Hasyim Muzadi, misalnya."

"O ya?", saya kaget, "Pak Hasyim itu pemimpin yang sudah digodog oleh dilemma-dilemma NU di jaman Gus Dur berkuasa. Sekarang Anda tahu beliau dimarahi Gus Dur dan dianggap menentang. Tapi itu membuat beliau semakin matang. Bagaimanapun citra NU harus direhabilitir, dan tokoh macam Pak Hasyim potensial untuk itu".

"Tapi alhamdulillah deh", saya menyahut, "Itu artinya rakyat Indonesia tidak pernah kehabisan pemimpin. Keadaan kita ini masih kacau balau, tetapi kita jadi optimis karena toh banyak calon pemimpin yang siap menolong kita semua. Omong-omong kalau Pak Bambang Susilo Yudoyono bagaimana? Termasuk yang akan bertanding nggak?"
"Beliau itu orang pandai sih, jadi sudah menclok di pemahaman banyak orang, Artinya susah mendapat dukungan yang luas.

Di kalangan TNI sendiri kalau tidak salah berkembang pendapat bahwa SBY itu bukan leader, beliau cocok menjadi pelaksana kantor, tapi bukan kapasitas beliau untuk memegang otoritas puncak atau mengambil keputusan-keputusan besar". "O begitu tho?", saya semakin terkagum-kagum.

"Ya, tetapi sesungguhnya kita sedang menunggu hadirnya pemimpin yang sungguh-sungguh nasionalistik dan membuktikan nasionalismenya dalam berbagai tindakan politik, eksistensi kenegaraan, perekonomian dan kebudayaan. Kita ini tidur terus kesadarannya, bertengkar antar golongan tak habis-habis. Padahal negara kita ini masa depannya akan dijadikan hanya 8 propinsi besar.

Bagi kekuatan internasional yang ingin memeliharan hegemoninya atas Indonesia, yang mereka anggap penting hanya Irian Jaya,Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra. Pulau Jawa tidak usah dipotensialisasikan ke masa depan. Toh Jawa sudah tinggal kerak, dan mayoritas penduduk Islam kan di Pulau Jawa ini.

Jadi kalau bisa di masa dating Jawa biar hancur saja, sehingga substansi keindonesiaan seperti yang sekarang menjadi hancur. Kalau Jawa dan mayoritas penduduk Islam sudah dibikin invalid, maka kelak akan ada Indonesia Baru yang kondusif dengan scenario adikuasa." Saya tidak ingat terusnya kata-kata beliau, karena ternyata tak sengaja saya tertidur.


Read More Cerita ini.... Subscribe

Senin, 29 Juni 2009

Stop Dreaming Start Action Sebuah Motivasi Mendalam Bagi Setiap Pebisnis Internet

0 komentar

Stop dreaming start action yang belakangan ini ramai di ikuti oleh banyak orang khususnya dari kalangan blogger dan penggemar SEO yang dikonteskan langsung oleh Bapak Joko Susilo bukanlah sekedar kontes untuk mendapatkan hadiah semata, melainkan lebih dari sekedar itu.

Banyak sudah pola pikir orang yang terkelabuhi dengan paradigma kontes "Stop Dreaming Start Action" dengan hanya mengejar-ngejar hadian yang di janjikan yang memang sangat menggiurkan.

Tapi jika mau mencermati dari sudut yang lebih jauh dan lebih luas, maka kita akan mendapatkan pelajaran yang lebih berharga ketimbang itu semua. Berikut diantaranya:

# Pentingnya Sebuah Mindset (pola pikir) Yang Benar Dalam Semua Urusan

Pola pikir adalah aset yang sangat berharga dalam semua sendi kehidupan. Orang bisa sukses menjalalani apapun karena ia telah mampu mengelola pola pikirnya dengan baik tak terkecusli dalam kegiatan internet marketing.

"Lalu bagaimana mengelola pola pikir dengan baik itu ?"

Banyak sekali cara mengelola pola pikir agar menjadi aset yang berharga bagi kita, namun kebanyakan seringkali kita melanggarnya meskipun sebenarnya ilmu ini sangat sedehana.

Dan ilmu pola pikir ini sudah dibuktikan dan dicontohkan oleh nenek-nenek moyang kita, seperti: rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkannya dan lain sebagainya.

Semua uangkapan-uangkapan diatas tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita, namun kebanyakan kita banyak melanggar aturan tersebut, sehingga ketika aturan-aturan diatas banyak kita langgar..banyak pula aset-aset kita yang menghilang begitu saja.

Aset itu banyak sekali macamnya. Misal, kita menerapkan ilmu "rajin pangkal pandai", maka dengan mengamalkan ilmunya kita bisa menjadi pandai. Sebailknya jika kita melanggarnya dengan bermalas-malasan tentu saja kita akan mendapat balasannya juga alias (maaf) "bodoh" .

Seiring dengan adanya kontes dan kampanye "Stop Dreaming Start Action" ini, diharapkan orang sudah tidak hanya bermimpi lagi dalam angan-angan yang di harapkannya, melainkan juga di tindaklanjuti dengan sebuah perbuatan yang nyata.

# Networking + Branding (Relasi+Citra)

Banyak orang mengatakan banyak teman banyak rezeki, Ungkapan ini banyak benarnya. dengan mengikuti kontes stop dreaming start action, akan banyak orang yang mengenal kita, lebih-lebih situs kita dihalaman terdepan khusunya di TOP 10 Google , pastinya mereka akan mengunjungi situs kita, bahkan sekaligus membranding diri bahwa kita memang yang terbaik di event ini.

Itu artinya apa ?

Orang mulai percaya dengan kredebilitas kita dan dipastikan terangkat, dengan begitu akan semakin mudah bagi kita khususnya di bisnis internet dalam menjual produk apapun karena mereka sudah mengetahui kita dari apa yang kita tampilkan di kontes ini. Apalagi ditunjang dengan artikel yang menarik dalam konters tersebut.

Boleh dikatakan bahwa hadiah yang akan kita terima jika menang dengan Brand yang akan kita dapatkan bisa mengungguli besar hadiah tersebut.

# Learning To Doing (Belajar Sambil Berbuat)


Stop dreaming start action bisa saja menjadi kontes bagi kita semua untuk mengasah kemampuan kita, khusunya ilmu SEO yang selama ini kita pelajari.

Jika biasanya kita belajar SEO sendiri tanpa sepengetahuan lawan kita, maka adanya kontes "stop dreaming start action" ini membuat lawan kita tahu kalau kita sedang bersaing dengannya dengan begitu mereka tentunya juga melakukan persiapan yang tak kalah matangnya dengan kita.

Tapi ingat !, tetap bersaing dengan cara sehat dan sportif. Meskipun mereka rival, tapi sebenarnya mereka adalah kawan kita juga

# Evaluasi

Dari sini kita juga bisa mengevaluasi sejauh mana kemampuan dan pembelaran SEO yang selama ini kita pelajari berhasil. Jika biasanya kita menang di keyword tertentu, di kontes "Stop dreaming start action" belum tentu kita melakukannya yang sama atau boleh jadi orang lain yang akan memenangkannya.

Dari sini kita bisa melihat bahwa kemampuan SEO kita belum teruji benar dan itu membuat kita harus banyak belajar lagi sehingga semakin menambah jam terbang kemampuan SEO kita

Baiklah mungkin cukup diatas saja uraian yang bisa saya berikan, jika mau menambahkan saya persilahkan

Umar Hadi
www.kuncimarketing.com



Read More Cerita ini.... Subscribe

Followers

 

Kumpulan Cerpen, Cerita Motivasi. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com