Gasa Foredi Gasa

Senin, 09 Maret 2009

Sebutir Kepala Dan Seekor Kucing

0 komentar

Cerpen
"Sebutir Kepala Dan Seekor Kucing"

Sidang darurat yang dihadiri para seniman, sastrawan dan budayawan telah memutuskan agar semua peserta sidang menanggalkan kepala masing-masing. Masalahnya, bersidang memakai kepala menyebabkan persoalan yang diperdebatkan tidak kunjung menemukan titik terang, bahkan, semakin jauh dari titik pengambilan keputusan. Masing-masing bertahan pada pendirian yang kuat dengan argumentasi yang tidak terbantah.

Sidang semakin panas dan berbelit-belit. Keringat mengucur di dahi semua peserta. Padahal keputusan harus segera diambil dan disampaikan kepada kepala desa. Jika tidak, makam seorang penyair besar yang terlanjur dimitoskan akan segera dibongkar dan diganti dengan mayat seorang anggota keluarga kepala desa.

"Saudara-saudara, bagaimana kalau kita bersidang tanpa kepala saja?" usul ketua sidang jengkel. "Saya kira ini jalan satu-satunya yang terbaik, agar dapat segera mengambil keputusan. Waktu yang diberikan Pak Kades hanya tinggal satu jam."

"Maksud Saudara Ketua bagaimana?" tanya seorang penyair yang duduk di deretan paling depan dan paling ngotot mempertahankan kuburan penyair yang akan digusur itu.

"Ya, kita copot kepala kita masing-masing. Kita bersidang tanpa kepala," jawab ketua sidang sambil menjepit dan menggoyang-goyangkan kepalanya dengan kedua tangannya.

Peserta sidang kaget mendengar usul ketua yang aneh itu. Sebagian besar tidak paham, yang lain menganggapnya sebagai usul gila. Tapi, ada juga yang mengganggap itu sebagai usul yang sangat jenius dan kreatif.

"Wah itu usul edan, Saudara Ketua. Bagaimana mungkin? Kita ini bicara dengan mulut, mendengar dengan telinga, memandang dengan mata, berpikir dengan otak, dan semua itu terletak di sini! Di kepala!" Seorang kritikus sastra menyanggah usul sang ketua. Ia berbicara berapi-api sambil menunjuk ke kepalanya sendiri. "Bagaimana mungkin kita bersidang tanpa kepala? Tidak masuk akal!"

"Saudara keliru dalam memandang usul saya. Saudara terlalu terikat oleh sosok dan bentuk. Saudara tidak melihat hakikatnya. Yang saudara khawatirkan sesungguhnya hanya persoalan alat. Alat itu, kepala kita ini, bisa diganti yang lain," tangkis sang ketua.

"Coba terangkan, Saudara Ketua. Bagaimana kita mesti mendengar dan berbicara tanpa kepala serta berpikir tanpa kepala. Padahal, itu pekerjaan utama kita di sini!" kritikus itu belum bisa menerima maksud sang ketua.

"Itu mudah. Kita bicara tanpa mulut, mendengar tanpa telinga, memandang tanpa mata, berpikir tanpa kepala, dan akhirnya kita pasti akan dapat mengangguk tanpa kepala. Jelas, bukan! Jadi, marilah kita sekali-kali berlaku seolah kita tidak membutuhkan kepala kita lagi. Kasihan kepala kita, selalu dipaksa bekerja, tidak pernah punya kesempatan istirahat sedikitpun. Bahkan, dalam tidurpun kepala kita tetap bekerja menyusun mimpi-mimpi bagi kita."

Peserta sidang tercengang mendengar penjelasan ketua mereka. Bisik-bisik pun segera terdengar di antara mereka. "Edan. Ini betul-betul gagasan edan …. Wah, ketuane kumat sintinge … Wah mosok endas kon nyopot … Nek ngene carane gawat rek … Aku arep bali wae ah, timbang kelangan endas … Kalau gini caranya, gua mundur aja deh … nggak jadi panitia juga nggak apa … Kepala lu sendiri aja copot … Wah ya lucu, mosok endas mung siji kon nyopot …"

"Tapi itu usul jenius lho! Itu sangat kreatif!" tiba-tiba seseorang bersuara keras.

"Kreatif ndasmu!" balas yang lain.

"Bagaimana? Apakah Saudara-saudara masih merasa keberatan? Jangan takut. Tidak apa-apa. Kita harus segera mengambil keputusan. Waktu kita tinggal beberapa menit saja!" Ketua sidang berdiri dan menggebrak meja, membungkam gemeremang suara para peserta. "Kebulatan tekad kita untuk melepas kepala kita selama sidang berlangsung akan sangat membantu terwujudnya keputusan bersama yang bulat. Keputusan kita itu akan sangat menentukan nasib Penyair Besar yang kita puja itu. Oleh sebab itu, relakanlah kepala Saudara untuk dicopot sementara."

Peserta sidang ragu-ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya saling memandang.

"Bagaimana, ini! Mengapa kalian hanya bengong saja!" Ketua sidang kembali menggebrak meja. Kali ini lebih keras. Dua spidol yang tergeletak di atas meja terpental ke lantai. "Waktu kita tinggal sedikit. Kita bubar saja, atau terus bersidang tanpa kepala?"

Peserta sidang tetap diam dan bengong.

"Kalau kalian belum percaya pada kata-kata saya, saya akan mulai dulu mencopot kepala saya!" Ketua sidang memegang kepala dengan kedua tangannya. Ia kemudian menjepitnya kuat-kuat, menggoyang-goyangkan, memuntir, menggoyang-goyangkan lagi dan menghentakkannya ke atas. Plas! Kepala sang ketua pun lepas dari lehernya dan diletakkannya di atas meja.

Peserta sidang tercengang-cengang melihat apa yang dilakukan sang ketua. Mereka hampir tidak berkedip menatap sebutir kepala di atas meja itu. Kepala itu tersenyum dan mengerdip-kerdipkan mata, mirip pertunjukan sihir di pasar malam rakyat. Seorang aktris teater yang duduk di deretan depan menjerit melihat kejadian itu. Ia hampir berlari ke luar melihat kepala tanpa tubuh itu nyengir dan mengerdipkan mata kanannya padanya.

"Nah, sekarang Saudara lihat sendiri. Saya bisa bicara dengan enak tanpa kepala." Suara parau tiba-tiba keluar dari tubuh tanpa kepala sang ketua.

Peserta sidang semakin tercengang.

"Sekarang giliran kalian melepas kepala masing-masing. Ayo bersama-sama!" tubuh tanpa kepala itu bersuara lagi lebih menggetarkan.

Bagai terkena pengaruh sihir, semua peserta sidang menjepit kepala masing-masing dengan telapak tangan. Mereka kemudian menggoyang-goyangkan, memuntir kuat-kuat dan menghentakkan kepala masing-masing ke atas. Plas! Secara bersamaan kepala mereka pun lepas. Secara bersamaan pula mereka meletakkan kepala masing-masing di atas meja. Kepala-kepala itu tersenyum, meringis, mengedip, dan saling melirik satu sama lain. Suara gemeremang pun muncul dari tubuh-tubuh tanpa kepala itu.

"Wah, ternyata enak ya, tanpa kepala … Ya, pusingnya hilang … Kalau kita tanpa kepala begini, kreatif nggak ya? … Nggak tauk! … Wah, rasanya enteng ya, ora nganggo endas. Beban pikiran hilang … Ya ya, nggak perlu mikir apa-apa …. Hiii, endasmu medeni kuwi, pringas-pringis kaya glundung pringis …. Ndasmu dewe kaya Cakil, ngono …. He endasku lucu ki, bisa melet-melet …. Ha, kepala gua bisa ketawa sendiri, lihat nih! …. Lho kepala gua kok benjol? …. Lha kepala saya botak tuh! …. Wah, nek ngguyu jebul untuku prongos …. Lha, hidungku kok jadi pesek…!

Tiba-tiba, tubuh si aktris berdiri sambil menenteng kepalanya. "Hore! Kepalaku paling hebat! Lihat, bisa menyanyi sendiri!" katanya sambil memperlihatkan kepalanya pada teman-temannya sambil berjalan kesana kemari.

"Wah, njijiki, Mbak. Digletakke wae!" komentar yang lain.

"Sak enake, wong endas-endasku dewe kok urusan!" jawab aktris itu sekenanya.

"Kepala saya mau saya gadaikan saja, ah. Enak kok tanpa kepala."

"Lho, jangan. Itu namanya komersialisasi kepala sendiri."

"Yo ben, toh."

"Wah, kepala kita mengganggu konsentrasi ya. Enaknya disimpan dulu."

"Usul saja sama ketua!"

"Saudara Ketua, bagaimana kalau kepala-kepala ini kita simpan saja dulu. Soalnya mengganggu konsentrasi!" usul seorang dramawan yang sejak tadi memain-mainkan kepalanya sendiri.

"Sebaiknya memang begitu. Kepala-kepala ini kita simpan dulu, agar kita bisa benar-benar bersidang tanpa kepala," jawab sang ketua.

"Bagaimana kalau kita taruh di bawah meja saja?"

"Hus, jangan! Apa kamu mau menginjak-injak kepalamu sendiri?"

"Kalau disimpan di lemari saja bagaimana?"

"Wah, jangan. Banyak kecoaknya."

"Lha mau ditaruh di mana?"

"Wah, ngletakke endas wae kok susah."

"Lho lho, kepalaku malah berjalan sendiri mencari tempat."

"Wah, kalian ini bagaimana? Menaruh kepala sendiri saja pada nggak bisa!" bentak sang ketua. "Sudah! Kita masukkan gudang saja, di belakang ada gudang kosong. Pasti aman."

Para peserta sidang itu pun beramai-ramai menenteng kepala masing-masing menuju gudang. Manusia-manusia tanpa kepala itu kemudian kembali ke tempat sidang.

Sang ketua membuka kembali sidang yang tertunda gara-gara urusan kepala. "Jadi singkatnya, kita diminta Pak Kepala Desa agar merelakan kuburan penyair besar itu untuk ditempati mayat keponakan Pak Kades. Kalian kan tahu, tanah pekuburan desa kita telah habis. Hanya itu satu-satunya cara agar Pak Kades bisa menguburkan keponakannya secara layak."

Tubuh-tubuh tanpa kepala itu mengangguk serentak. Entah karena setuju, atau karena tidak paham saja.

"Sekali lagi, perlu kalian ketahui. Waktu yang diberikan kepada kita untuk berembug hampir habis. Karena itu, kita tidak punya banyak waktu berdebat. Sekarang tegas saja, kalau setuju dengan penggusuran makam itu, katakan setuju. Kalau tidak, katakan tidak. Bagaimana!" lanjut sang ketua.

Tubuh-tubuh tanpa kepala itu kembali mengangguk serentak. Tidak jelas apa maksudnya.

Sang ketua bermaksud membuka pembicaraan kembali. Tangannya digerakkan ke atas. Tapi, tiba-tiba seekor kucing hitam melompat dari atas almari ke meja sang ketua. Kucing itu menggondol sebutir kepala. Entah kepala siapa. Semuanya terkejut. Suasana pun jadi ribut. Kucing itu dengan sigap melarikan kepala itu keluar ruang sidang.

"Ha! Kepala siapa itu digondol kucing?" teriak sang ketua.

"Jangan-jangan kepalaku!" penyair mengejar kucing itu.

"Itu pasti kepala si pelukis. Rambutnya gondrong."

"Ah, rambut penyair kita juga gondrong!"

"Cepat tangkap kucing itu!"

Tubuh-tubuh tanpa kepala itu pun berhamburan keluar ruang sidang, memburu sang kucing. Namun, kucing itu, entah kucing siapa, dengan sigap meloncat ke atas tembok pagar halaman, dan meloncat lagi ke atas atap rumah sebelah.

"Ayo kita kepung kucing itu!"

Tubuh-tubuh tanpa kepala itu menyebar, bermaksud mengepung kucing itu. Tapi, perumahan di kampung itu sangat padat dan berhimpitan. Mereka tidak dapat masuk lorong untuk mengepung sang kucing dari belakang rumah. Sementara itu, sang kucing dengan santai terus menggondol kepala itu dan meloncat dari atap rumah yang satu ke atap rumah berikutnya.

"Wah, mati aku. Itu kepalaku, sungguh!" teriak seorang penyair setengah histeris. "Ini gara-gara ketua sinting itu. Kepalaku satu-satunya disikat kucing. Bagaimana ini Saudara Ketua?!" Tubuh penyair tanpa kepala itu benar-benar marah. Kedua tangannya mengepal geram.

"Sudah. Jangan marah. Nanti diganti kepala boneka saja. Di toko banyak!" ledek seorang temannya.

"Ngomong seenaknya! Kutonjok kau!" Penyair itu benar-benar menonjok perut temannya.

"Sudah. Jangan berantem. Nanti dipesankan kepala robot saja. Pasti lebih kreatif," sang ketua melerai mereka.

"Jangan ngawur! Ini kecelakaan serius!" peyair itu makin berang.

"Sudah. Tenang dulu. Sekarang begini saja, sementara kau pakai kepalaku dulu. Nanti kalau kucing itu tertangkap, bisa ditukar lagi," usul sang ketua.

"Apa? Kepala botak gitu suruh makai!"

"Lho, daripada kamu nggak pakai kepala!"

"Ya, kita terima saja usul ketua. Ia sudah mau mengorbankan kepalanya untuk kamu. Kepala Pak Ketua lebih hebat. Siapa tahu kamu bisa jadi penyair besar."

"Ya, ya, sudah. Aku pakai kepalamu dulu. Tetapi awas, kalau tidak kreatif, kulempar kepalamu ke sungai!"

"Jangan-jangan kepala kita yang lain juga dimakan kucing!"

"Jangan-jangan kepalaku juga."

Tubuh-tubuh tanpa kepala itu kembali berlarian berserabutan masuk gudang. Mereka berebut mengambil kepala masing-masing. Suasana menjadi ribut "Ngawur! Kepalaku dipakai …. Hus. Ini kepalaku! …. Lho, kamu keliru pakai kepala perempuan! …. Sialan! Endasku ngendi?!…. Minggir! Kepalaku jangan diinjak! …. E, ngawur aja, nginjak-injak kepala orang seenaknya…. Wah, ndasku ketendang-tendang nganti untune protol …. Lho, kamu salah pakai. Masak lehernya di atas. Lho, kamu terbalik pakainya. Hidungnya kok di belakang …."

Tubuh-tubuh tanpa kepala itu akhirnya menemukan kepala masing-masing. Akan tetapi, ada juga beberapa orang yang enggan memakai kepalanya kembali, termasuk sang ketua yang terlanjur memberikan kepalanya kepada sang penyair. Mereka menenteng kepala-kepala itu pulang. Entah akan disimpan di mana.

Yogyakarta, Juli 1985
Oleh Ahmadun Yossi Herfanda
* Pernah dimuat di Horison dalam tahun 1987

Read More Cerita ini.... Subscribe

Kampret

0 komentar

Cerpen
"Kampret"

Pemandangan di kantor PT Serba Ngutang menjadi sangat aneh. Sejak kebijaksanaan kampret diberlakukan, orang-orang enggan berpakaian lengkap lagi. Ada yang bekerja hanya dengan bercelana kolor dan berkaos singlet. Ada yang hanya memakai sarung dan bersandal jepit, bertelanjang dada, nobra, bahkan, ada beberapa karyawati yang nekad berbikini setiap hari. Namun, ada satu benda yang tampak selalu menempel pada leher mereka, dasi berbentuk kampret.

"Jadikanlah kampret sebagai satu-satunya ciri khas kita, identitas keluarga besar perusahaan kita," kata direktur PT yang kebetulan bernama Edi Sukampret itu setiap mendapat kesempatan berbicara di depan para karyawannya.

"Mengapa dasi kita harus berbentuk kampret, Pak, bukan kupu-kupu atau dasi panjang biasa saja," tanya seorang karyawannya pada suatu kesempatan.

"Dasi panjang dan dasi kupu-kupu sudah menjadi milik umum, dipakai di mana-mana dan oleh siapa saja. Itu tidak bisa lagi kita jadikan sebagai identitas khas kita," jawab Pak Kampret. "Kau harus ingat, saya memilih dasi berbentuk kampret bukan karena kebetulan nama saya Kampret. Itu saya pilih berdasarkan petunjuk para normal paling ampuh di negeri ini. Dengan dasi kampret perusahaan kita akan terbang mencapai puncak prestasi tertinggi," tambahnya.

Mulanya kebijaksanaan Kampret hanyalah sebuah peraturan baru yang mengharuskan seluruh karyawan perusahaan itu, dari bagian pembersih WC sampai para kepala bagian, memakai dasi berbentuk kampret selama jam kerja. Akan tetapi, kemudian muncul suasana yang sangat aneh ketika sang direktur memutuskan agar seluruh karyawannya memakai dasi kampret sepanjang waktu, bukan hanya ketika menjalankan tugas perusahaan, juga dalam kegiatan apa pun.

Bayangkan saja, dalam berolah raga pun mereka diwajibkan memakai dasi kampret. Begitu pula ketika senam pagi, bersepeda gembira, tennis, sepak bola, mandi, bahkan ketika bersanggamapun harus memakai dasi kampret.

Lebih gila lagi, ketika bermain cinta mereka juga diharuskan mengucapkan, "Oh kampret, aku mencintaimu."

"Sejarah hanya bisa diukir dengan perbuatan-perbuatan besar seperti yang kita lakukan sekarang ini. Kita harus yakin dengan satu kata, bahwa dengan gerakan dasi kampret ini sejarah akan mencatat kita, " kata sang direktur dalam suatu rapat pleno di perusahaannya. "Siapa saja yang tidak menaati kebijaksanaan kampret ini akan dicap sebagai pembangkang. Bisa dipecat," tegasnya.

"Wah, masak, hanya karena dasi saja kita bisa dipecat. Ini terlalu berlebihan," komentar seorang karyawan yang duduk di deretan paling belakang.

"Mengapa kita tidak protes saja?" kata yang lain.

"Ya, kita harus protes." Peraturan ini sudah terlalu gila. Masak mandi saja harus memakai dasi. Coba kau bayangkan, ketika kita akan mencumbu pacar atau istri kita harus mengucapkan dulu ‘Oh kampret aku mencintaimu.’ Kita bisa jadi ribut dengan pasangan kita. Ini sudah terlalu gila!"

"Direktur kita tampaknya memang sudah gila!"

"Kita bisa ikut gila kalau begitu."

"Kita semua memamg sudah gila. Lihat saja tingkah laku teman-teman kita, semakin aneh-aneh."

"Kita protes sekarang saja!"

Tiba-tiba seorang karyawan yang duduk di deretan paling depan berdiri seraya menarik dasinya dari lehernya, membantingnya ke lantai persis di depan sang direktur dan meludahinya tiga kali, ’cuh! cuh! cuh’!

Semua peserta rapat terkejut melihat ulah karyawan itu, lebih-lebih sang direktur. Wajahnya seketika berubah menjadi merah padam. Ia langsung berdiri dan matanya melotot ke arah pemuda pembanting dasi itu.

"Kermit!" bentak sang direktur sangat keras. Pemuda itu kaget dan duduk kembali dengan muka pucat. "Kurang ajar! Kamu ini bagaimana?! Seenaknya saja meludahi kebijaksanaanku di depan mataku!"

"Maaf, maaf, Pak. Napasku sangat sesak. Saya tidak tahan terus-terusan memakai dasi!" Kermit minta maaf sambil menyembah-nyembah.

"Akan tetapi, caramu jangan begitu. Kamu sama saja meludahi mukaku, tahu! Aku tahu, kau selama ini secara diam-diam sering melepas dasi kampretmu. Aku tahu itu. Kau sengaja kubiarkan. Sekarang kau berani meludahinya di depan hidungku. Ini sudah keterlaluan. Kau memang pembangkang! Ayo keluar!"

Kemarahan Pak Kampret benar-benar tidak terbendung. Kermit akhirnya keluar ruang rapat dengan muka pucat setelah memungut kembali dasi kampret yang telah diludahinya itu.

Keesokan harinya Kermit tidak masuk kerja. Hari berikutnya surat panggilan datang. Kermit diminta menghadap sang direktur hari itu juga. Di hadapan Pak Kampret ia mengaku tidak bermaksud membangkang kebijaksanaan, apalagi menghina atau meludahinya.

"Sejak masih kanak-kanak leher saya memang alergi terhadap dasi. Saya tidak tahan memakai dasi, dasi apa saja, lebih dari satu jam. Itulah sebabnya secara diam-diam saya selalu melepas dasi saya tiap Bapak tidak ada," katanya.

"Namun, caramu kemarin sangat menyinggung perasaanku."

"Karena itulah, Pak, sekali lagi saya minta maaf. Saya sungguh-sungguh tidak bermaksud menyinggung perasaan Bapak. Itulah yang selalu terjadi pada diri saya setiap memakai dasi lebih dari satu jam. Saya selalu merasakan dicekik pelan-pelan, makin lama makin kencang. Lalu, tanpa sadar saya akan menarik dasi itu, membantingnya dan meludahinya tiga kali. Itulah penyakit yang menyusahkan saya, Pak, dan telah menyinggung perasaan Bapak," Kermit menjelaskan.

"Baiklah. Aku paham penyakitmu itu. Namun, sudah terlanjur kuputuskan bahwa kau akan ku-PHK. Keputusan ini hanya bisa kucabut jika kau menggantinya dengan hukuman lain."

"Hukuman apa, Pak?"

"Setiap pagi kau berjalan mengelilingi kompleks perkantoran kita sepuluh kali selama sebulan sambil meneriakkan ‘Oh Kampret, aku mencintaimu!’ sambil mencium dasi kampret. Bagaimana?"

Karena tidak ingin dipecat, Kermit akhirnya menerima hukuman aneh itu. Kermit harus latihan vokal dulu untuk dapat menerikkan kata-kata indah, "Oh Kampret, aku mencintaimu", dengan gagah dan penuh perasaan.

Maka, persis pada hari Jumat Kliwon bertambahlah pemandangan aneh di kompleks perkantoran PT Serba Ngutang. Sepuluh orang berjalan keliling kompleks tersebut sambil koor keras, "Oh Kampret, aku mencintaimu!" Rupanya bukan hanya Kermit yang terkena hukuman aneh tersebut.

Pemandangan aneh itu segera menjadi tontonan menarik para karyawan lain dan warga sekitar kompleks perkantoran perusahaan pengekspor TKI tersebut. Bahkan, banyak orang yang sedang lewat, yang berjalan kaki, naik sepeda, naik motor dan mobil, berhenti sejenak untuk menyaksikan pemandangan yang cukup teateral tersebut. Tak pelak, lalu lintas di depan kompleks PT Serba Ngutang menjadi terganggu dan nyaris macet total.

"Wah, ini sudah benar-benar keterlaluan!" komentar seorang karyawan.

"Barangkali kita sengaja dipaksa untuk mempertuhan kampret," kata yang lain.

"Masak, dasi kampret saja harus dianggap sebagai segalanya. Bayangkan saja, aku tadi sengaja membawa pacar ke kantor dan sengaja kucumbu di depan Pak Kampret. Eh, dia cuma senyum-senyum saja karena aku tetap memakai dasi kampret. Bahkan teman kita, si Badrun, kemarin membawa seorang waria ke ruang Pak Direktur. Ia juga hanya ketawa, dan hanya bilang agar waria itu disuruh ikut memakai dasi kampret," cerita yang lain.

Adegan teateral keliling kompleks perkantoran itu terus berlangsung setiap hari. Anehnya, jumlah terhukum yang mengikuti ‘upacara dasi kampret’ itu semakin banyak. Teriakan koor "Oh, kampret, aku mencintaimu" pun semakin membahana di kompleks PT Serba Ngutang. Bahkan, pada hari ketujuh, separuh lebih karyawan PT tersebut terkena hukuman. Enam puluh tujuh karyawan dan karyawati dengan gayanya masing-masing yang serba kocak melalukan upacara dasi kampret itu.

Adegan teateral yang kocak itu pun semakin menarik perhatian umum. Hampir setiap pagi selama sekitar satu jam jam lalu lintas di depan kompleks perkantoran itu macet. Polisi terpaksa turun tangan untuk mengaturnya.

Pada hari kesepuluh hampir seluruh karyawan PT tersebut mengikuti upacara aneh itu. Para terhukum tidak lagi merasakannya sebagai hukuman lagi, tapi sebagai hiburan dan permainan bersama yang kocak dan menyenangkan. Bahkan, yang tidak terkena hukuman pun ikut-ikutan keliling sambil nimbrung koor "Oh Kampret ,aku mencintaimu!" Mereka menganggap sekedar ikut berolah raga jalan kaki sambil latihan vokal. Langkah-langkah gembira dan suara koor mereka yang begitu keras pun semakin menggetarkan kaca-kaca pintu dan jendela perkantoran itu.

Tepat ketika koor dan langkah-langkah kaki mereka mencapai puncak semangat dan greget tertinggi, mobil Pak Kampret memasuki pintu gerbang perkantoran itu. Tiba-tiba, seperti tersedot kekuatan magnet besar, rombangan koor kolosal itu menyerbu mobil Pak Kampret sambil terus berteriak-teriak "Oh Kampret, aku mencintaimu!"

Sambil terus berteriak-teriak mereka memecahkan kaca-kaca mobil Pak Kampret, membuka pintunya, dan menyeret Pak Kampret keluar. Mereka berebut mencium Pak Kampret, berebut mendekap dan berebut menggigit bibir Pak Kampret sambil berteriak-teriak histeris, "Oh Kampret, aku mencintaimu!".

Karena kewalahan, Pak Kampret jatuh terjerembab di sisi mobilnya. Mereka pun beramai-ramai menubruknya, berebut menggigit bibirnya, menggigit hidungnya, menggigit pipinya, menggigit tangannya, menggigit perutnya, menggigit pantatnya, dan menggigit telapak kakinya. Pak Kampret ditindih beramai-ramai sampai tidak bisa bernafas.

Polisi segera turun tangan. Akan tetapi, Pak Kampret sudah tewas di tempat karena tidak kuasa menahan luapan cinta para karyawannya yang sangat dahsyat.

Yogyakarta, September 1991
Oleh Ahmadun Yossi Herfanda.




Read More Cerita ini.... Subscribe

Bakso

0 komentar

Bakso
Oleh Dina Anisa

Uh, panasnya. Udara siang ini terasa sangat panas. Rasanya ubun-ubunku mau pecah. Sebagai hamba Tuhan yang beriman, dalam keadaan superpanas seperti ini pun, aku tetap bersyukur.

Gimana nggak, Tuhan telah merancang dan menyusun stuktur tubuh kita sedemikian rupa, sehingga nggak melepuh atau meleleh kalau kena panas matahari, nggak karatan atau jamuran kalau kena hujan. Ya, Tuhan, terima kasih, bisikku.

Dan di saat-saat genting seperti itu (duh, memang lagi perang?), bayangan bang Karta sudah melambai-lambai di pelupuk mata. Yah, bang Karta dengan kedai baksonya yang mangkal di mulut gang saturnus itu. Cocok sekali disebut pahlawan.

Selain bakso merupakan makanan kebangsaanku, bayangan segelas es kelapa muda menari-menari dan memamerkan gemerincing sendok yang beradu dengan gelas. Hmmm, rasanya kerongkonganku tambah kering.
Kupercepat ayunan sepatu rodaku mengingat itu semua. Sudah terbayang segelas kelapa muda yang segar

Tunggu Bang Karta, aku datang, bisikku dalam hati, nggak sabar.
"Halo, Bang Karta! Biasa yah," sapaku pada pemilik kedai itu setelah melewati pintu lebar bangunan yang berbentuk pendopo. Ya ampun ramainya! Memang jam-jam bubaran sekolah begini suasana di kedai bang Karta dijamin berjubel.

"Ditanggung beres, tapi tunggu dulu ya, Mbak," sahut bang karta seraya menyiapkan pesanan para pelanggannya. Bang Karta memang sudah hafal betul dengan menuku. Semangkuk bakso, pakai sayur, tanpa tahu, dan segelas es kelapa muda.

Meskipun di situ tersedia beberapa menu lain, sedikit pun aku tak tergoda. Aku sama sekali nggak pernah nyobain, meski beberapa temenku bilang, "Hmmm, siomay-nya sedap banget lho, Ren. Coba deh," kata Nono waktu kami makan bareng di situ.

Nuri juga nggak ketinggalan manas-manasin aku. "Heran nih si Renda. Dari zaman koin sampai ATM, menunya itu-itu aja. Udah berapa biji bakso tuh, yang ada di perutmu? Eh, Ren. Es telernya juga ocrit banget lho," katanya sambil menyodorkan gelasnya yang berisi es teler ke arahku.

"Nggak ah. Aku sih pengen tetep fresh. Kali aja ada cowok cakep mampir ke sini," sahutku nggak mau kalah.
"Kok ngelamun aja, Mbak. Ini pesanannya," kata bang Karta yang tahu-tahu meletakkan pesananku di meja. Karena nggak ada tempat kosong lagi, mau nggak mau aku duduk di satu-satunya meja kosong, deket jendela. Lumayan, masih kena angin yang bisa ngeringin keringat di rambut dan dahiku.

"Makasih ya Bang," sahutku sambil langsung meneguk es kelapa muda. Kerongkonganku mendadak sueger. Setelah merasa lega, kuletakkan kembali gelas berisi es kelapa muda itu. Langsung saja kulakukan beberapa ritualku setiap kali makan bakso. Kumasukkan 1 sendok saus tomat dan 2 sendok sambal sambil menambahkan kecap sesendok. Kuaduk sebentar isi mangkok itu untuk mencampurkan saus dan sambelnya.

"Lho!" seruku waktu melihat isi mangkukku. Bang Karta yang sedang membersihkan meja di sebelahku ikut kaget.
"Ada apa Mbak Renda?" tanyanya.

"Ini Bang, ada tahunya," kataku.
"Lho, padahal tadi nggak pakai kok," katanya keheranan.

"Bang, punya saya ada yang kurang nih. Wah Bang Karta sudah lupa sama kebiasaan saya rupanya," seru cowok yang duduk berjarak dua meja dariku sambil meletakkan botol kecap, persis di samping piring jeruk nipis yang tersedia.

"Oh, maaf mas Ken. Jadi rupanya…"
Aku heran melihat bang Karta yang senyum-senyum, berganti-ganti melihat ke arah mangkukku dan mangkuk cowok itu.

"Maafin Bang Karta ya. Rupanya mangkuknya ketukar. Karena ini kesalahan Bang Karta, sini biar Abang ganti yang baru," kata bang Karta, mau mengangkat mangkukku.
"Eh, tunggu bang," seru cowok itu sambil bangkit dari kursinya dan membawa mangkuknya menuju ke arahku.

"Kenapa Mas?" tanya bang Karta.
"Dik, baksonya sudah dimakan apa belum?" tanyanya, yang kujawab dengan gelengan kepala. Aku langsung paham maksudnya.

"Oke deh." Dia ngajak tukeran mangkuk. Aku tahu dia belum makan baksonya, juga karena dia baru kembali ke tempat duduknya setelah membeli tabloid di kios seberang.

"Santai aja deh Bang. Nggak apa-apa kok," kataku waktu bang Karta ngotot minta supaya mangkuk kami diganti yang baru.
"Iya, lagian udah mulai ramai tuh Bang. Saya udah nggak tahan nih. Udah lapar buanget," kata Ken.

"Baiklah. Tapi sekali lagi Abang minta maaf lho," kata bang Karta sebelum meninggalkan kami. Setelah kepergian bang Karta, Ken minta izin supaya kuperbolehkan duduk semeja denganku. Kemudian dia menyedok bakso di mangkuknya setelah mencocol potongan daging bulat itu dengan saus tomat.

"Aww, hah, huh, uffhh…" serunya sambil mengipas-ngipas mulut dengan tangan kanan. Sementara tangan kirinya sibuk menggapai gelasnya yang berisi es jeruk.

Aku baru sadar kalau aku udah membubuhkan saus dan sambel sesuai takaranku. Bagi Ken mungkin bisa membuatnya merem melek sambil ngeluarin asap warna hijau dan merah keabu-abuan. Sebaliknya, baksoku rasanya muuaaaniiiiss dan kueeecuuut banget. Mungkin dia ngasih kecapnya sebotol plus jeruk nipis sekarung.
Kami nggak nyangka kalau bakso kami rasanya superkacau seperti ini. Tapi… kekacauan yang satu ini justru merupakan awal fase hidup kami yang lain.

Itulah awal perkenalanku dengan Ken. Kejadian hari itu terekam baik di memoriku. Hari ini tepat tiga tahun sejak peristiwa itu. Aku duduk di semester empat fakultas seni rupa di perguruan tinggai negeri di kotaku. Sedangkan Ken melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Jepang.

Hubunganku dengan Ken terjalin kira-kira setahun lebih sebulan setelah jumpa pertama kami. Usianya lima tahun lebih tua dariku, sesuai harapanku. Menurutku, itu jarak ideal. Nenekku bilang, cewek akan tampak lebih tua kalau jalan sama cowok seumuran. Entah kenapa aku percaya sama nenek…


Penulis adalah mahasiswa STIBA Malang

Read More Cerita ini.... Subscribe

Followers

 

Kumpulan Cerpen, Cerita Motivasi. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com