Cerpen
"Sebutir Kepala Dan Seekor Kucing"
Sidang darurat yang dihadiri para seniman, sastrawan dan budayawan telah memutuskan agar semua peserta sidang menanggalkan kepala masing-masing. Masalahnya, bersidang memakai kepala menyebabkan persoalan yang diperdebatkan tidak kunjung menemukan titik terang, bahkan, semakin jauh dari titik pengambilan keputusan. Masing-masing bertahan pada pendirian yang kuat dengan argumentasi yang tidak terbantah.
Sidang semakin panas dan berbelit-belit. Keringat mengucur di dahi semua peserta. Padahal keputusan harus segera diambil dan disampaikan kepada kepala desa. Jika tidak, makam seorang penyair besar yang terlanjur dimitoskan akan segera dibongkar dan diganti dengan mayat seorang anggota keluarga kepala desa.
"Saudara-saudara, bagaimana kalau kita bersidang tanpa kepala saja?" usul ketua sidang jengkel. "Saya kira ini jalan satu-satunya yang terbaik, agar dapat segera mengambil keputusan. Waktu yang diberikan Pak Kades hanya tinggal satu jam."
"Maksud Saudara Ketua bagaimana?" tanya seorang penyair yang duduk di deretan paling depan dan paling ngotot mempertahankan kuburan penyair yang akan digusur itu.
"Ya, kita copot kepala kita masing-masing. Kita bersidang tanpa kepala," jawab ketua sidang sambil menjepit dan menggoyang-goyangkan kepalanya dengan kedua tangannya.
Peserta sidang kaget mendengar usul ketua yang aneh itu. Sebagian besar tidak paham, yang lain menganggapnya sebagai usul gila. Tapi, ada juga yang mengganggap itu sebagai usul yang sangat jenius dan kreatif.
"Wah itu usul edan, Saudara Ketua. Bagaimana mungkin? Kita ini bicara dengan mulut, mendengar dengan telinga, memandang dengan mata, berpikir dengan otak, dan semua itu terletak di sini! Di kepala!" Seorang kritikus sastra menyanggah usul sang ketua. Ia berbicara berapi-api sambil menunjuk ke kepalanya sendiri. "Bagaimana mungkin kita bersidang tanpa kepala? Tidak masuk akal!"
"Saudara keliru dalam memandang usul saya. Saudara terlalu terikat oleh sosok dan bentuk. Saudara tidak melihat hakikatnya. Yang saudara khawatirkan sesungguhnya hanya persoalan alat. Alat itu, kepala kita ini, bisa diganti yang lain," tangkis sang ketua.
"Coba terangkan, Saudara Ketua. Bagaimana kita mesti mendengar dan berbicara tanpa kepala serta berpikir tanpa kepala. Padahal, itu pekerjaan utama kita di sini!" kritikus itu belum bisa menerima maksud sang ketua.
"Itu mudah. Kita bicara tanpa mulut, mendengar tanpa telinga, memandang tanpa mata, berpikir tanpa kepala, dan akhirnya kita pasti akan dapat mengangguk tanpa kepala. Jelas, bukan! Jadi, marilah kita sekali-kali berlaku seolah kita tidak membutuhkan kepala kita lagi. Kasihan kepala kita, selalu dipaksa bekerja, tidak pernah punya kesempatan istirahat sedikitpun. Bahkan, dalam tidurpun kepala kita tetap bekerja menyusun mimpi-mimpi bagi kita."
Peserta sidang tercengang mendengar penjelasan ketua mereka. Bisik-bisik pun segera terdengar di antara mereka. "Edan. Ini betul-betul gagasan edan …. Wah, ketuane kumat sintinge … Wah mosok endas kon nyopot … Nek ngene carane gawat rek … Aku arep bali wae ah, timbang kelangan endas … Kalau gini caranya, gua mundur aja deh … nggak jadi panitia juga nggak apa … Kepala lu sendiri aja copot … Wah ya lucu, mosok endas mung siji kon nyopot …"
"Tapi itu usul jenius lho! Itu sangat kreatif!" tiba-tiba seseorang bersuara keras.
"Kreatif ndasmu!" balas yang lain.
"Bagaimana? Apakah Saudara-saudara masih merasa keberatan? Jangan takut. Tidak apa-apa. Kita harus segera mengambil keputusan. Waktu kita tinggal beberapa menit saja!" Ketua sidang berdiri dan menggebrak meja, membungkam gemeremang suara para peserta. "Kebulatan tekad kita untuk melepas kepala kita selama sidang berlangsung akan sangat membantu terwujudnya keputusan bersama yang bulat. Keputusan kita itu akan sangat menentukan nasib Penyair Besar yang kita puja itu. Oleh sebab itu, relakanlah kepala Saudara untuk dicopot sementara."
Peserta sidang ragu-ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya saling memandang.
"Bagaimana, ini! Mengapa kalian hanya bengong saja!" Ketua sidang kembali menggebrak meja. Kali ini lebih keras. Dua spidol yang tergeletak di atas meja terpental ke lantai. "Waktu kita tinggal sedikit. Kita bubar saja, atau terus bersidang tanpa kepala?"
Peserta sidang tetap diam dan bengong.
"Kalau kalian belum percaya pada kata-kata saya, saya akan mulai dulu mencopot kepala saya!" Ketua sidang memegang kepala dengan kedua tangannya. Ia kemudian menjepitnya kuat-kuat, menggoyang-goyangkan, memuntir, menggoyang-goyangkan lagi dan menghentakkannya ke atas. Plas! Kepala sang ketua pun lepas dari lehernya dan diletakkannya di atas meja.
Peserta sidang tercengang-cengang melihat apa yang dilakukan sang ketua. Mereka hampir tidak berkedip menatap sebutir kepala di atas meja itu. Kepala itu tersenyum dan mengerdip-kerdipkan mata, mirip pertunjukan sihir di pasar malam rakyat. Seorang aktris teater yang duduk di deretan depan menjerit melihat kejadian itu. Ia hampir berlari ke luar melihat kepala tanpa tubuh itu nyengir dan mengerdipkan mata kanannya padanya.
"Nah, sekarang Saudara lihat sendiri. Saya bisa bicara dengan enak tanpa kepala." Suara parau tiba-tiba keluar dari tubuh tanpa kepala sang ketua.
Peserta sidang semakin tercengang.
"Sekarang giliran kalian melepas kepala masing-masing. Ayo bersama-sama!" tubuh tanpa kepala itu bersuara lagi lebih menggetarkan.
Bagai terkena pengaruh sihir, semua peserta sidang menjepit kepala masing-masing dengan telapak tangan. Mereka kemudian menggoyang-goyangkan, memuntir kuat-kuat dan menghentakkan kepala masing-masing ke atas. Plas! Secara bersamaan kepala mereka pun lepas. Secara bersamaan pula mereka meletakkan kepala masing-masing di atas meja. Kepala-kepala itu tersenyum, meringis, mengedip, dan saling melirik satu sama lain. Suara gemeremang pun muncul dari tubuh-tubuh tanpa kepala itu.
"Wah, ternyata enak ya, tanpa kepala … Ya, pusingnya hilang … Kalau kita tanpa kepala begini, kreatif nggak ya? … Nggak tauk! … Wah, rasanya enteng ya, ora nganggo endas. Beban pikiran hilang … Ya ya, nggak perlu mikir apa-apa …. Hiii, endasmu medeni kuwi, pringas-pringis kaya glundung pringis …. Ndasmu dewe kaya Cakil, ngono …. He endasku lucu ki, bisa melet-melet …. Ha, kepala gua bisa ketawa sendiri, lihat nih! …. Lho kepala gua kok benjol? …. Lha kepala saya botak tuh! …. Wah, nek ngguyu jebul untuku prongos …. Lha, hidungku kok jadi pesek…!
Tiba-tiba, tubuh si aktris berdiri sambil menenteng kepalanya. "Hore! Kepalaku paling hebat! Lihat, bisa menyanyi sendiri!" katanya sambil memperlihatkan kepalanya pada teman-temannya sambil berjalan kesana kemari.
"Wah, njijiki, Mbak. Digletakke wae!" komentar yang lain.
"Sak enake, wong endas-endasku dewe kok urusan!" jawab aktris itu sekenanya.
"Kepala saya mau saya gadaikan saja, ah. Enak kok tanpa kepala."
"Lho, jangan. Itu namanya komersialisasi kepala sendiri."
"Yo ben, toh."
"Wah, kepala kita mengganggu konsentrasi ya. Enaknya disimpan dulu."
"Usul saja sama ketua!"
"Saudara Ketua, bagaimana kalau kepala-kepala ini kita simpan saja dulu. Soalnya mengganggu konsentrasi!" usul seorang dramawan yang sejak tadi memain-mainkan kepalanya sendiri.
"Sebaiknya memang begitu. Kepala-kepala ini kita simpan dulu, agar kita bisa benar-benar bersidang tanpa kepala," jawab sang ketua.
"Bagaimana kalau kita taruh di bawah meja saja?"
"Hus, jangan! Apa kamu mau menginjak-injak kepalamu sendiri?"
"Kalau disimpan di lemari saja bagaimana?"
"Wah, jangan. Banyak kecoaknya."
"Lha mau ditaruh di mana?"
"Wah, ngletakke endas wae kok susah."
"Lho lho, kepalaku malah berjalan sendiri mencari tempat."
"Wah, kalian ini bagaimana? Menaruh kepala sendiri saja pada nggak bisa!" bentak sang ketua. "Sudah! Kita masukkan gudang saja, di belakang ada gudang kosong. Pasti aman."
Para peserta sidang itu pun beramai-ramai menenteng kepala masing-masing menuju gudang. Manusia-manusia tanpa kepala itu kemudian kembali ke tempat sidang.
Sang ketua membuka kembali sidang yang tertunda gara-gara urusan kepala. "Jadi singkatnya, kita diminta Pak Kepala Desa agar merelakan kuburan penyair besar itu untuk ditempati mayat keponakan Pak Kades. Kalian kan tahu, tanah pekuburan desa kita telah habis. Hanya itu satu-satunya cara agar Pak Kades bisa menguburkan keponakannya secara layak."
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu mengangguk serentak. Entah karena setuju, atau karena tidak paham saja.
"Sekali lagi, perlu kalian ketahui. Waktu yang diberikan kepada kita untuk berembug hampir habis. Karena itu, kita tidak punya banyak waktu berdebat. Sekarang tegas saja, kalau setuju dengan penggusuran makam itu, katakan setuju. Kalau tidak, katakan tidak. Bagaimana!" lanjut sang ketua.
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu kembali mengangguk serentak. Tidak jelas apa maksudnya.
Sang ketua bermaksud membuka pembicaraan kembali. Tangannya digerakkan ke atas. Tapi, tiba-tiba seekor kucing hitam melompat dari atas almari ke meja sang ketua. Kucing itu menggondol sebutir kepala. Entah kepala siapa. Semuanya terkejut. Suasana pun jadi ribut. Kucing itu dengan sigap melarikan kepala itu keluar ruang sidang.
"Ha! Kepala siapa itu digondol kucing?" teriak sang ketua.
"Jangan-jangan kepalaku!" penyair mengejar kucing itu.
"Itu pasti kepala si pelukis. Rambutnya gondrong."
"Ah, rambut penyair kita juga gondrong!"
"Cepat tangkap kucing itu!"
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu pun berhamburan keluar ruang sidang, memburu sang kucing. Namun, kucing itu, entah kucing siapa, dengan sigap meloncat ke atas tembok pagar halaman, dan meloncat lagi ke atas atap rumah sebelah.
"Ayo kita kepung kucing itu!"
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu menyebar, bermaksud mengepung kucing itu. Tapi, perumahan di kampung itu sangat padat dan berhimpitan. Mereka tidak dapat masuk lorong untuk mengepung sang kucing dari belakang rumah. Sementara itu, sang kucing dengan santai terus menggondol kepala itu dan meloncat dari atap rumah yang satu ke atap rumah berikutnya.
"Wah, mati aku. Itu kepalaku, sungguh!" teriak seorang penyair setengah histeris. "Ini gara-gara ketua sinting itu. Kepalaku satu-satunya disikat kucing. Bagaimana ini Saudara Ketua?!" Tubuh penyair tanpa kepala itu benar-benar marah. Kedua tangannya mengepal geram.
"Sudah. Jangan marah. Nanti diganti kepala boneka saja. Di toko banyak!" ledek seorang temannya.
"Ngomong seenaknya! Kutonjok kau!" Penyair itu benar-benar menonjok perut temannya.
"Sudah. Jangan berantem. Nanti dipesankan kepala robot saja. Pasti lebih kreatif," sang ketua melerai mereka.
"Jangan ngawur! Ini kecelakaan serius!" peyair itu makin berang.
"Sudah. Tenang dulu. Sekarang begini saja, sementara kau pakai kepalaku dulu. Nanti kalau kucing itu tertangkap, bisa ditukar lagi," usul sang ketua.
"Apa? Kepala botak gitu suruh makai!"
"Lho, daripada kamu nggak pakai kepala!"
"Ya, kita terima saja usul ketua. Ia sudah mau mengorbankan kepalanya untuk kamu. Kepala Pak Ketua lebih hebat. Siapa tahu kamu bisa jadi penyair besar."
"Ya, ya, sudah. Aku pakai kepalamu dulu. Tetapi awas, kalau tidak kreatif, kulempar kepalamu ke sungai!"
"Jangan-jangan kepala kita yang lain juga dimakan kucing!"
"Jangan-jangan kepalaku juga."
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu kembali berlarian berserabutan masuk gudang. Mereka berebut mengambil kepala masing-masing. Suasana menjadi ribut "Ngawur! Kepalaku dipakai …. Hus. Ini kepalaku! …. Lho, kamu keliru pakai kepala perempuan! …. Sialan! Endasku ngendi?!…. Minggir! Kepalaku jangan diinjak! …. E, ngawur aja, nginjak-injak kepala orang seenaknya…. Wah, ndasku ketendang-tendang nganti untune protol …. Lho, kamu salah pakai. Masak lehernya di atas. Lho, kamu terbalik pakainya. Hidungnya kok di belakang …."
Tubuh-tubuh tanpa kepala itu akhirnya menemukan kepala masing-masing. Akan tetapi, ada juga beberapa orang yang enggan memakai kepalanya kembali, termasuk sang ketua yang terlanjur memberikan kepalanya kepada sang penyair. Mereka menenteng kepala-kepala itu pulang. Entah akan disimpan di mana.
Yogyakarta, Juli 1985
Oleh Ahmadun Yossi Herfanda
* Pernah dimuat di Horison dalam tahun 1987
Senin, 09 Maret 2009
Sebutir Kepala Dan Seekor Kucing
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar